Terlambat

410 6 0
                                    

Nama : Sevaniagra Ris Maharani

Semester : 5B

Tangannya ligat mengetik sementara matanya melotot lebar selebar jengkol Mas Sani—tukang sayur kosannya.

"Bu Yahya, conteng jangan nih?"

"IP lu berapa dulu cung?" Tisa juga sama sedang konsentrasi, meski diselingi sesi ceramah ustad tampan, mapan, rupawan dan dermawan siapa lagi kalau bukan ustad Jalaludin Harahap.

Gue memicingkan mata. Belakangan ini pandangan semakin buram sih, sedikit. Terangnya waktu melihat yang bening-bening saja. Seperti mas penjaga warnet yang gemarnya membaca kitab kuning dan berbaju koko. Alasan paling logis kenapa gue memilihi warnet yang kecepatannya bahkan nggak mampu menandingi bajaj ibukota. Buka AIS saja sudah kayak nunggu buka puasa di hari pertama ramadhan.

"IP gue sih... hem... 2,5. Mayan lah nggak sampai 1." Terang gue jujur.

Tisa yang duduk di sekat berbeda merapat. "IP 1 namanya aib, gilak. Aih, IP 2,5 sih lu cuma bisa ambil 20 SKS."

Gue semester berapa sih, sampe sekarang masih aja nggak bersahabat sama serba-serbi perkuliahan. Maklum, biasanya sih Desti yang mengisi sementara gue cuma tinggal cek hasilnya.

"Serius lu? Matkul semester kemarin aja masih ada yang nunggak. Alamak, gimana gue mau lulus 4 tahun kalo begindang caranya!"

"Gue juga heran sih. Padahal kalo belajar lu getol banget. Tugas nggak pernah ketinggalan. Meskipun suka telat nggak kira-kira."

Kalau satu itu sih jangan ditanya, susah berkomitmen sama waktu. Komitmen gue cuma satu: berangkat 5 menit setelah masuk meski di jalan pasti ada saja hambatan.

"Itulah realita. Kadang memang menyedihkan. Tapi hidup masih harus tetap berjalan bukan hanya merundung dalam ratapan."

"Lebay. Emang kapasitas otak lo cuma segitu kayaknya."

"Shit." Umpat gue.

"Terus jadinya matkul apa yang bakal lo korbankan?"

Mata gue kembali menelaah. "Bu Nunung, ohoh kelasnya asik gue ambil." Gue memberi tanda centang. "Pak Azis. Oke, jarang masuk. Surga mahasiswa."

Kepala gue ditoyor Tisa. Ternyata ngisi SKS itu bikin gue seneng, apalagi kalau sudah punya pengalaman masuk kelas beberapa dosen.

"Pak Fakhru. Aih, sumber kebahagiaan dan kesehatan mata. Nggak bisa gue lewatkan. Ceklis. Bu Rahma, Bu Farra, Bu Mei. Ceklis. Pak Komar?" gue menoleh pada Tissa yang dibalasnya dengan angkatan bahu seolah mengatakan 'keputusan ada padamu'.

"Ambil jangan?" gue pikir Tissa lebih tahu masalah ini, karena di semester sebelumnya bapak berkumis lele itu pernah jadi unek-uneknya.

"Gue aja yang mencukupi nggak ngambil matkul dia. Kali aja semester depan dosennya diganti."

"Serius? Lo jangan kasih gue harapan palsu nih."

"Elah, lu tinggal ceklis doang mikirnya udah kayak mau koalisi partai. Cepet ah gue laper nih!"

"Oke. X. Gue tolak, maaf ya Pak. Lope-lope." Tangan gue kembali menggulirkan mouse dan berhenti pada sebuah nama. "Pak Busby?" gue kembali menolehkan kepala pada Tissa yang nyengir selebar samudera. Gue yakin untuk yang satu ini dia pasti lebih tahu meskipun gue lebih nggak mau tahu.

"Gue sih yes. Kapan lagi bisa cuci mata di pelajaran super berat. Belum tentu semester depan bapaknya masih ngajar, kan?" katanya retoris.

Gue mengangguk-angguk mahfum, meski hati dan jari sama-sama berat pada akhirnya gue gerakkan telunjuk untuk menekan 'klik' dengan penuh harapan dan doa. Maklum, gue memang benci betul dengan matkul Pak Busby sekalipun sangat menyenangi dosennya yang fresh dan muda. Belum lagi kalau sedang pakai kemeja biru muda yang digulung sebatas siku. Setara lah dengan model-model di Calvin Klein. Tapi ya itu, bapaknya killer gilak. Masuk ke dalam kelasnya aja seperti merangkak ke perbatasan militer. Toleransi telat memang lima menit, tapi telat dua menit lu bakal diasingkan di pojok kelas yang gelap dan penuh sarang laba-laba. Belum lagi mata elangnya bakal dengan jeli mengawasi pergerakan para mahasiswa penghuni pojokan ini, menguap sedikit maka kamu mati.

STATUSWhere stories live. Discover now