"Nih pesenan lo lo pada." Gue meletakkan sekantung plastik penuh roti bakar. Mungkin teman-teman gue ini bercanda, tapi kadang mereka suka nanyain dan bikin gue ada di posisi yang serba salah. Biarlah duit sepuluh ribu ludes, demi persahabatan kita yang absurd ini gue rela.
"Eh apaan nih?" Nina bicara tanpa mau memegangnya, berlagak seolah itu bom roti.
"Lu tau aja energi kita terkuras habis pelajaran Pak Bus."
Kita berderet di tangga, membuat lalu lintas agak terhambat. Jadi di kampus itu ada dua jenis tangga, tangga dekat lift mahasiswa dan tangga dekat lift dosen. Biasanya tangga dekat lift dosen lebih sepi dan suram di mana cahaya cuma berasal dari satu lampu di atas sana. Semenjak lift dosen nggak pernah bermasalah juga, gue dan kawan-kawan sering menggunakan area itu sebagai tempat sakral buat bergosip atau santai-santai sehabis matkul selesai.
"Lu bego banget sih Va tadi."
Elah, gue baru sampe naik tangga ke lantai 6 malah dapat hinaan. Meski kadang nggak salah sih.
"Padahal tadi lu bisa memanfaatkan momentum waktu Pak Bus menghadap ke white board. Nggak usah pake acara salam segala. Salam cuma diwajibkan buat dosen yang bisa diajak kompromi."
Gue menjitak asal Nina. Dia lebih muda setahun dari gue, senang banget bisa nyiksa seenaknya. "Lupa ye, mata Pak Bus itu udah kayak mata ayam, bisa lihat dua arah berlawanan. Ketahuan, spidol melayang."
"Nggak segitunya kali. Kalo sama cewek sih dia rada lembut." Desti memang selalu membela. Maklum dosen kaporit.
Gue mencomot roti milik Elris, dia mendesah kesal. "Duit gue nih." Jawab gue tanpa perlu pernyataan yang membuatnya seketika pasrah.
"Lagian kayaknya si bapak udah hafal betul wajah-wajah suram kayak lo, percuma juga sih ngendap-ngendap ujungnya juga pasti bakal ditendang ke luar." Risya menghabiskan rotinya. Buset, enak apa doyan tuh anak. Tanpa jejak boi, bahkan remahnya pun bersih total.
"Asem. Gue juga heran sih si bapak sensi banget sama gue. Kalo di kelas juga ditanya-tanya terus padahal gue nggak pernah ngobrol apalagi tidur. Lama-lama gue minta halalin juga nih. Penasaran deh, kalo seandainya gue bilang begitu dia bakal ngamuk apa blushing ya? Secara ekspresinya kan sedatar talenan kosan."
"Coba aja, tapi... kamu mau saya coret dari daftar mahasiswa?" Tissa menirukan gaya bicaranya tadi. Kami terbahak bersama.
"Ampun pak. Saya nggak mau dicoret, saya maunya dicumbu." Gue berlagak.
"Gila." Elris terkikik.
"Makanya bapak halalin saya aja biar ada yang bangunin saya pagi-pagi pak." Tanggap gue asal.
Desti menyolek dagu. "Mau dibangunin pake apa, cinta apa sayang?"
"Pake keran juga nggak masalah pak."
"Mau banget ya, saya halalin?"
Deg. Ibarat tombol pause, gue berhenti sejenak dari acara keributan nggak jelas barusan. Semilir angin menyapu wajah gue, tanpa menoleh gue tahu ada yang lewat selintas. Parfum Pak Busby membekap hidung, bikin gue merinding sedetik. Nggak tahu kenapa badan gue tiba-tiba aja jadi panas dingin. Temen-teman gue yang lain juga mendadak bungkam sampai detik berikutnya mereka tergelak bersama. Gue dan teman-teman memang kerap bercanda tentang domud (dosen muda) keren dan bening, tapi nggak pernah terciduk begitu. Kelima teman gue terkikik geli, terutama Desti yang sudah terbungkuk-bungkuk nyaris menyentuh lantai.
"Nah loh, dihalalin beneran loh Va." Risya menginterupsi. Gue meninju kecil lengannya sambil mesem-mesem nggak jelas.
"KUA yuk!" tangan gue menggamit Risya manja. Tapi kemudian ponsel gue berbunyi nyaring. Satu pesan masuk.
YOU ARE READING
STATUS
General FictionKetika keisengan membawa celaka. "Seva, kalau seandainya saya mau halalin kamu, gimana?" MBYAR... Semburan air mineral meluncur halus dari mulutnya. Berawal dari celotehan di tangga, Seva terjebak pada sebuah ajakan pernikahan dosennya sendiri. Seju...