Mungkin dia lancang, bagaimana bisa meminta anak bau kencur buat jadi pasangannya?
Pikirannya memang sedang kurang logis detik itu. Nora menghilang, dan Busby sedang mencari penggantinya. Oke, jadi sebenarnya Pak Bus sudah punya calon yang akan dibawanya di altar pernikahan. Nora Fiani, temannya satu almamater. Sebelum menginjak usia 29 tahun, keduanya sepakat ingin langsung membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan tanpa embel-embel pertunangan atau penjajakan. Sayangnya perempuan itu menghilang, tepat satu minggu sebelum acara lamaran.
Ibu dan ayahna tidak tahu menahu tentang ini, mereka memang tak ingin terlalu mencampuri urusan jodoh.
Dosen itu mengusap wajahnya yang basah. Anggap saja bonus, kapan lagi dapat semburan air mineral dari mahasiswanya.
"Pak, maaf, aduh.. Saya nggak sengaja ini. Serius deh."
Seva bergerak heboh, dia bermaksud mengusap wajah Pak Bus yang masih memejam—merogoh saku—tapi kemudian tangannya segera ditepis. Yang benar saja, cewek itu belum cuci tangan sehabis makan tadi. Kuah kalio masih berlumuran di jari-jarinya.
"Tangan kamu kotor." Cerocos Pak Bus, mengelap wajahnya dengan sapu tangan abu-abu.
Seva mendadak bangkit. "Kalau begitu saya cuci tangan dulu deh."
"Terus habis cuci tangan kamu mau ngelap muka saya, gitu? Big No."
Seva tampak meringis. "Ye, bapak geer deh. Nggak juga pak, supaya bersih aja."
Mendengar gertakan, cewek itu duduk lagi.
"Kenapa duduk lagi?"
Suara tinggi Pak Bus sontak membuat Seva bangun lagi. "Memang kenapa pak?"
"Kamu bilang mau cuci tangan?"
Sebelum kena semprot tiga kali, Seva langsung memelesat bagai rudal. Tidak lebih dari satu menit, anak itu sudah duduk tegak. Keduanya diam, Pak Bus sedang mencari cara untuk mengatakannya. Paling tidak supaya kalimatnya mudah dipahami.
"Ehm.." Pak Bus berdeham, reflek membuat Seva salah tingkah. "Kamu jangan salah paham dulu." Terangnya yang membuat gadis itu melotot heran.
Seva meringis. "Pak coba bapak pikirin deh, ada cowok tampan, mapan, rupawan bilang mau halalin saya, siapa yang nggak salah paham sih?" cerocosnya.
"Oke, oke, saya minta maaf karena udah bikin kamu kaget. Tapi tolong jangan bicarakan masalah ini sama siapapun."
Dua tangan cewek itu menyilang, seolah sedang berusaha melindungi asetnya paling berharga. "Maksud bapak apa? Bapak tertarik sama saya? Sebagai subjek, objek apa predikat?"
Pak Bus memasang wajah datar. Heran sih, kenapa juga harus berurusan dengan perempuan yang hidupnya serba tidak jelas begitu.
"Saya nggak tertarik sama kamu." Tegasnya.
Seva pasti bingung bukan main. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepala, seperti sedang mengusir kantuk. Wajahnya serba skeptis, seolah meminta penjelasan.
Pak Bus menarik napas sebentar. "Posisi saya di sini sebagai korban. Saya cuma sedang mencari celah supaya tidak menjadi satu-satunya pihak yang dirugikan." Dari mimik wajahnya, Pak Bus tahu perempuan itu pasti tidak paham.
"Karena saya harus menikah. Itu janji pada kedua orang tua saya setahun lalu. Dua bulan lagi saya genap berusia 29, dan saya sudah berjanji sebelum memasuki usia itu akan menikah dengan gadis pilihan saya."
"Maksud bapak, saya itu pilihan bap—"
"Bukan kamu. Ada, seseorang." Tukasnya cepat.
Seva mengangguk-angguk lega. "Oh jadi tadi cuma latihan ya pak?"
YOU ARE READING
STATUS
General FictionKetika keisengan membawa celaka. "Seva, kalau seandainya saya mau halalin kamu, gimana?" MBYAR... Semburan air mineral meluncur halus dari mulutnya. Berawal dari celotehan di tangga, Seva terjebak pada sebuah ajakan pernikahan dosennya sendiri. Seju...