Kesepakatan

206 6 4
                                    

Pagi-pagi sekali ibunya sudah datang. Busby membantunya mengangkat beberapa barang.

"Ayahmu belum bisa ke sini, katanya nanti datang jam 4 sore."

Dia sudah membicarakan rencana ini sebelumnya, mengatakan bahwa besok akan melakukan lamaran resmi. Karena kedua orang tuanya tinggal terpisah, jadi mereka cuma beberapa kali saja datang ke sana.

Sebelum ini, Busby memang pernah mengunjungi kediaman Nora sekali meski tak dapat sambutan ramah. Tapi niatnya baik, ingin mempersunting perempuan itu. Hanya saja seminggu terakhir kediamannya sepi, setelah Nora menghilang tanpa jejak. Busby bahkan menghabiskan waktu luangnya untuk mencari perempuan itu, meski hasilnya nihil.

Rumah Busby sendiri berdekatan dengan jarak restoran miliknya. Menjadi entrepreneur yang sudah mapan, beberapa kali ia juga kerap mengisi header dari artikel dan majalah bisnis para millenials.

Ponselnya bergetar, satu pesan masuk.

Seva 5B : Maaf pak, hari ini saya nggak masuk. Lagi kurang sehat. Uhuk uhuk.

Mencari alternatif itu memang susah, Busby bahkan sudah memintai tolong pada sahabatnya Kania dan perempuan itu menolaknya mentah-mentah. Ya, wajar sih karena dia sudah memiliki calon suami dan akan segera menikah. Jadi bakal ada kemungkinan buruk kalau sampai Kania berpura-pura untuk menjadi kekasih yang akan dipersuntingnya.

Busby memang sudah seputus asa itu. Memiliki modal tampang dan uang tidak cukup membuat perempuan mau bersanding dengannya. Apalagi dalam kondisi mendadak seperti ini.

"Astagfirullah, ini rumah apa sarang penyamun Bi?"
Ibunya syok begitu masuk ke ruang tamu yang ditimbun segunung pakaian kotor. Orang-orang cuma tahu dia dari luar sebagai sosok perfeksionis dan gemar mengkritik, tidak tahu saja kalau di rumah Busby sama sekali tidak punya waktu buat bersih-bersih.

"Belum ada waktu bu. Semester ini Kelas saya ditambah. Jangankan rumah, mengurus restoran saja keteteran." Tangannya bergerak, meraup sejumput baju dan memasukkannya ke dalam keranjang.

"Makanya, cepat nikah biar ada yang ngurus rumah."

Sependek itulah pikiran ibunya pada kewajiban seorang istri. Meskipun Busby sangat menentang keras paradigma tersebut. Dia hanya tahu tidak ada orang yang mau dikekang. Itu bukan kewajiban, melainkan tuntutan yang sudah mendarah daging. Pemahaman seperti itulah yang perlu diubah dengan tidak memulainya lebih dulu.

"Nggak bu, saya nggak akan bikin menantu ibu kerja kasar di rumah. Dia punya keinginan, saya nggak mau menjadikan diri saya sebagai prioritas di atas keinginan dia sendiri."

"Maksud kamu, kamu mau beri dia kebebasan?Bi, inget yo kebebasan itu bisa bikin kebablasan. Kalau sejak awal kamu sudah membebaskannya, ke depannya kamu sendiri yang bakal susah."

Pasti ibunya sudah salah menerka kalau yang dimaksudnya dengan kebebasan adalah bertingkah amoral di luar sana.

"Bukan itu bu." Busby segera meralat. "Maksudnya saya hanya nggak mau membatasi keinginannya cuma demi memenuhi keperluan saya."

Ibunya memandang sebentar, sejak dulu pun wanita itu memilih tidak mau mencampuri urusan apapun di kehidupan Busby. "Terserah kamu saja. Ibu juga nggak akan ikut campur urusan rumah tanggamu nantinya."

Busby tersenyum, memeluk ibunya erat. "Elah, lepasin thok. Sudah bangkotan masih saja peluk-peluk ibunya."

Bukannya melepaskan, dia malah semakin mengencangka pelukannya. Ada rasa bersalah menggelayut di sana. Terutama pikiran tentang siapa yang akan bersanding dengannya kelak untuk menggantikan Nora. Tiba-tiba saja dia ingat sesuatu. Pelukannya mengendur. "Ibu, saya mau pergi dulu. Ada urusan mendesak."

STATUSWhere stories live. Discover now