"Do you know how there are moments when the world moves so slowly you can feel your bones shifting, your mind tumbling? When you think that no matter what happens to you for the rest of your life, you will remember every last detail of that one minute forever?"
(Jodi Picoult, Nineteen Minutes)
•••
"GILAA! Mika ini keren banget, sumpah!" Seruku ketika melihat sapuan palet oranye, ungu, dan nila yang menjadi latar sang mentari yang akan beranjak pergi.
"Udah aku bilang kan, kamu pasti suka," balasmu bangga.
Dasar Mika, begitu saja sudah bangga.
Tapi aku senang, Mika. Kamu memang bisa membuatku merasa spesial ya?"Makasih ya, Mika. Aku senang."
"Iyaa selow sih. Kamu jangan fokus ke langitnya aja, liat juga tuh laut, pantai, gak kalah bagus sama langitnya," ujarmu.
"Hahaha iya, Mika. Keren parah sih, tuhan maha besar ya?" Tanyaku retoris, masih terpaku takjub pada kombinasi alam yang entah mengapa terlihat begitu sempurna di mataku."Pantai ini ya, Ra, termasuk pantai yang terkenal dengan sunset view-nya. Apalagi kalo ngeliatnya dari bukit ini. Salah satu yang terbaik lah di daerah istimewa ini," jelasmu tanpa aku minta.
Kebiasaan kamu, Mika. Menjelaskan tanpa diminta. Tapi aku enggak akan keberatan walau harus mendengar ocehan panjang lebar kamu. Suara kamu entah sejak kapan jadi sesuatu yang selalu ingin aku dengar.
"Kira, tau gak arti nama kamu apa?" Tanyamu tiba-tiba.
"Enggak, aku gak pernah inisiatif nyari."
"Cahaya matahari."
"Apa?" Aku bertanya bingung, tidak mengerti maksud ucapan kamu.
"Nama kamu artinya cahaya matahari."
"Oalah, bagus juga nama aku," ucapku diiringi senyum.
Kamu tau, Mika, senyumku bukan karna arti namaku yang baru aku ketahui, tapi karna kamu mencari arti nama aku. Itu tandanya aku sempat berada di pikiran kamu kan?
"Pantes ya, kamu jadi sunrise and sunset addict," celetukmu yang seketika membuat aku tertawa.
"Mika, kalau arti nama kamu apa?"
"Bulan di awal apa yaa...enggak tau lupa, ada bulan bulannya yang jelas."
"Oh bulaan."
Tiba-tiba kamu tertawa kecil. Membuat aku bingung mengapa kamu tertawa.
"Kenapa ketawa? Perasaan gak ada yang lucu."
"Enggak, bukan apa-apa."
Mika selalu ya, membuat aku penasaran begini.
"Ka, jawab sih," ucapku sambil menarik narik salah satu ujung kausnya. Bukannya menjawab, kamu malah tertawa, Mika. Membuat aku jadi sebal sekaligus gemas.
"Ih Kaa, jawab ah," bujukku sekali lagi.
"Bukan apa-apa sih. Aku baru sadar kalau nama kita cocok ya," kamu menjawab pada akhirnya, aku memang selalu berhasil membuat kamu mengalah ya Mika.
"Cocok apanya?"
"Aku kan bulan, kamu cahaya matahari..."
Kamu menjeda ucapanmu dan tanpa aku sadar, kamu sudah berada di hadapan aku.Tatapan kamu, Mika, membuat aku lemah seketika. Aku cuma bisa diam waktu itu. Aku gugup, Mika. Wajah kamu kamu begitu dekat. Harusnya kamu gak boleh sedekat itu. Bahaya untukku, terlebih jantungku.
"Kamu tahu kan bulan bisa bersinar itu karna siapa?" Kamu melanjutkan ucapanmu yang tadi terpotong.
"Karna matahari kan? sinarnya dipantulkan oleh bulan," aku segera menjawab kamu. Sepertinya aku tahu, Mika, apa yang kamu maksudkan.
Kamu tak langsung menjawab, hanya tersenyum menatapku. Mata kita saling bersitatap. Seketika aku merasa dunia sekeliling kita membaur memudar, menyisakan aku dan kamu sebagai pusatnya.
Tangkupan tanganmu di pipiku menyadarkan aku dari keterhanyutan.
"Iya, tanpa cahaya matahari, bulan gak mungkin bersinar. Itu artinya aku butuh kamu, Kira, untuk menemani aku mencapai target dan impianku," tuturmu lembut.
Kata-katamu menciptakan hangat di diri ini, Mika. Kamu membuat aku merasa aku penting di hidup kamu.
Aku kemudian meraih tanganmu, melepaskannya dari pipiku.
"Mikaa, bisa banget sih omongannya. Googling ya pasti ini mah."
Aku berusaha mencairkan suasana dengan menggoda kamu. Kamu hanya menanggapinya dengan tertawa.
"Dasaar, itu origin by me yaa," bela kamu.
Kini gantian aku yang tertawa dan mengiyakan saja apa kata kamu.
Kalau boleh jujur, ucapanmu tadi membuat harapanku melambung jauh, Mika. Sampai-sampai aku takut.
"Ka, duduk yuk disana. Udah mau terbenam mataharinya."
Aku menunjuk tempat yang aku maksud, lalu melangkah duluan ke sana. Beberapa saat setelah aku duduk, kamu menyusul dan ikut duduk disebelahku.
"Kamu gak mau foto foto?"
"Huh?" Aku menolehkan kepalaku membuat mimik tidak mengerti.
"Kamu gak minat foto sunset atau di foto kamunya terus latar belakang sunset gitu? Biasanya kan cewek cewek suka gitu?"
Aku tertawa geli mendengar pertanyaan kamu. Benar sih, namun kadang sebuah momen akan lebih berarti, Mika, tanpa harus terganggu dengan kesibukan mengabadikannya."Enggak lah, pengen nikmatin aja sih. Lebih syahdu."
"Dih hahaha bahasa kamu, Raa,"
Aku ikut tertawa menyadari betapa menggelikannya kata kataku.
"Serius gak mau foto?" Tanya kamu sekali lagi.
"Serius. Yah tapi kalau kamu mau foto aku diem diem gapapa sih, gak nolak kok aku," candaku.
"Dih ngapain, kurang kerjaan aja," elakmu cepat.
Aku hanya tertawa mendengar jawaban cepat kamu. Kalau aku, Mika, aku akan dengan senang hati memfoto kamu diam diam. Sayang, sunset lebih menarik dari kamu. Canda, Mika, canda hahaha.
Angin semilir berhembus, membelai wajah aku dan kamu dengan intensnya. Sedangkan kamu, Mika, sudah terpaku pada matahari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya.
Dan aku?
Malah menatap kamu diam-diam. Kamu mengalihkan fokus aku dari sunset, Mika."Mika," aku memanggilmu pelan. Kamu langsung menolehkan kepalamu kepadaku. Sekali lagi, Mika, mata kita bertemu.
"It's my pleasure to know you"
Ada kejut di wajahmu, Mika. Namun kemudian kamu menggantinya dengan senyum lembut.
"It's also my pleasure to know you, Kira"
Kini gantian aku yang terkejut. Ah Mika, aku salah tingkah. Apalagi dengan kamu yang terus tersenyum begitu. Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah matahari.
Mika, aku ingin waktu membeku, boleh?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine Series
Teen FictionKamu tahu, Mika? Andai ini sesederhana bulan yang selalu bersinar karna cahayanya mentari, aku tidak perlu takut. Karena pada akhirnya, bulan selalu membutuhkan mentarinya, bukan? Namun, di kisah ini, bulan terlalu larut benderang bersama jutaan bin...