Pagi itu sedikit tidak bersahabat. Ada rintik hujan yang membuat matahari gagal menunjukkan eksistensinya. Langit kelabu menyambut pagi di Korea Selatan. Sedikit terlalu dingin untuk memulai aktivitas, sebenarnya.
"Kurasa ini terlalu awal untuk meledakkan peluru, Jimin."
Kepala pirang itu menoleh, tertawa sejenak sebelum menurunkan senapan miliknya yang sedikit berembun. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, Taehyung tak perlu bertanya kenapa pria itu menghabiskan malam hanya dengan membuang - buang peluru. Lagipula, seisi rumah tidak begitu tuli untuk tidak mendengar suara lecutan peluru di pagi buta.
"Wajahmu sudah mulai pucat, istirahatlah."
Dua minggu setelah pesta perayaan pengangkatan dirinya, Jimin lupa bagaimana cara tidur yang baik dan benar. Ia hanya bergelung dengan segudang masalah internal dan eksternal yang sungguh tidak pernah ia ekspetasikan. Selain tanggung jawab misi terakhir sang ayah yang diberikan kepadanya, Jimin mau tidak mau harus sedia membantu masalah eksternal Min yang mengalami tekanan di Daegu, memaksa figur bernama Yoongi hilang eksistensinya selama dua minggu ini.
"Daripada kau menyuruhku istirahat, lebih baik sini, bantu aku." Jimin tersenyum dengan bibir yang cukup kering itu. Ia kurang minum, Seokjin sampai lelah barang hanya untuk mencekokinya segelas air.
"Apa lagi? Aku tak mau."
Ada helaan napas disana, "Aku hanya memintamu untuk duduk denganku disini." Jimin memasukkan seperangkat alat penembak itu kedalam tempatnya, mendudukkan diri di atas rerumputan basah.
Taehyung mengangkat alis, memutuskan untuk mengambil tempat di hadapan Jimin.
"Aku ingin minta pendapatmu. Kau orang yang paling mengerti jalan pikiranku." Jimin terdengar serius, Taehyung mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kenapa?"
"Jeon tidak punya celah untuk ditembus." Mungkin nada bicaranya terdengar normal, Namun Taehyung tahu ada terselip rasa frustasi disana. "Aku mencari segala celah di berbagai jaringan mereka, distrik yang mereka kuasai, bahkan sampai ke saluran penjualan senjata mereka-semuanya terlalu rapat. Ini seperti kita mencari sesuatu yang eksistensinya tidak ada. Jaringan keamanan mereka terlalu kuat, keberadaan markas utama sangat rahasia, gudang - gudang senjata juga tidak memberikan hasil apa - apa."
"Kita tahu itu sejak lama, Jimin. Jangan lupakan alasan utama ayahmu menyuruh kita menghancurkan tempat - tempat milik Jeon. Itu semua bisa mengarahkan kita ke markas utama mereka."
"Itu tidak berguna, sama saja boros. Walaupun di akhir kita bisa mencapai inti mereka, kita sudah dalam keadaan babak belur. Jeon itu licik, mereka biarkan kita sesuka hati, namun diakhir mereka yang mengakhiri."
Rambut pirang itu tidak tampak mengkilap seperti biasanya, sedikit redup. Sama seperti wajah dan kedua matanya. Taehyung tahu Jimin tidak biasa dengan hal seperti ini, wajar jika ia frustasi. "Jimin, jangan terlalu dipikirkan. Kau tidak sendiri, kita cari jalan keluarnya bersama."
"Aku sudah menemukan rencananya." Jimin menatap Taehyung, tepat lurus ke dalam kedua bola mata. Ia ragu, sangat ragu. Taehyung bisa melihat itu disana. "Tapi resikonya lebih besar dari presentase kemungkinan kita akan berhasil."
"Aku tahu Jimin adalah orang yang selalu suka mengambil resiko."
Jimin tertawa kecil, itu memang benar. Tapi jika resikonya bisa mengancam eksistensi keluarga Park-Jimin juga tidak berani sembarang mengambil langkah. Ia sempat mengira dirinya sudah tidak waras karena memikirkan rencana gila ini, bisa dibilang sama seperti bom bunuh diri.
"Devide et impera."
Taehyung mengangkat alis. Istilah asing itu tidak familiar di telinganya. "Apa itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
opera
Fanfictionjimin, jeongguk, mereka membenci. mengincar nyawa satu sama lain. namun takdir menjadi lebih kejam, sedikit; mereka yang sudah terlanjur harus saling menghancurkan, harus rela membunuh hati masing - masing. "dia pasti malaikat." "tatapannya aneh...