Gemerlap malam Seoul terpampang jelas di dinding transparan apartemen milik Jimin. Pria itu tidak melakukan apa – apa selama sehari, membunuh rasa bosan dengan bermain ponsel dan menonton televisi, walaupun tampaknya tidak berpengaruh sama sekali.
Beberapa hari sejak ia mendapatkan berita soal jatuhnya tiga gudang persenjataan akibat tikus – tikus Jeon. Taehyung yang terluka, satu gedung penuh senjata yang hancur, serta kemungkinan Jeon menemukan sesuatu yang penting membuat Jimin tidak bisa fokus dengan pekerjaannya yang melacak keluarga dan anggota – anggota gang Jeon. Yang ada dipikirannya hanyalah kondisi headquarter yang tentu akan sangat kacau pasca penyerangan itu.
Namun ia tidak bisa pulang. Ia sudah percaya kepada Yoongi.
Helaian pirang itu diremas, frustasi. Jarum jam sudah menunjuk angka tiga, ia tidak selera untuk menyentuh kasur. Layar laptop tampak lebih menggoda dengan jajaran nama anggota Jeon yang ia berusaha akses dengan segala macam cara (dan kurasa kau tidak ingin tahu betapa rumitnya itu, oh.)
Ruangan itu dingin, dengan remang cahaya seadanya. Yang sengaja ia gelapkan untuk mengindari hal – hal seperti mata – mata atau apapun yang memungkinkan untuk terjadi. Awalnya Jimin mengekspetasikan kehadiran Jeongguk. Namun, entah kenapa malam ini Jeongguk tidak datang. Apa ia sibuk? Atau malah sedang menyerang gudang – gudang Park lainnya?
Dalam satu minggu Jeongguk datang sekitar empat kali, selalu tepat jam tujuh malam. Menghabiskan waktu hingga pagi dan hilang saat Jimin membuka mata. Menutup malam dengan kehangatan, Jimin sudah biasa jika harus menyambut pagi dengan dingin.
Tidak kesepian sama sekali. Ia hanya ingin segera menyelesaikan segala urusannya. Memikirkan rencana demi rencana hanya membuatnya stress. Bahkan terkadang muncul pikiran untuk..
..membunuh Jeongguk.
Namun, Jimin ragu. Saat pikiran itu muncul, ia berusaha menghalaunya dengan segala macam alasan yang tidak masuk akal. Ia hanya perlu menusuk jantung pria itu saat mereka bercinta dan segala urusan akan selesai. Jeon akan runtuh bersamaan dengan terbunuhnya pemimpin mereka. Ia bisa langsung lari ke luar negeri dan menyembunyikan identias setelah segalanya mereda.
Tapi, Jimin yakin, tidak akan semudah itu. Jeongguk bukanlah manusia yang mudah teralihkan hanya karena nafsu. Keadaan bisa berbalik, ia bisa ketahuan—dan ia tidak ingin hal itu terjadi.
Figur itu mendesah, frustasi. Mengacak – acak rambut pirang miliknya yang tidak tertata rapi. Jeongguk itu misteri, sulit diprediksi. Jimin benci.
Detik setelah ia kembali melakukan pencadangan data anggota Jeon—ketukan pintu apartemen membuat pria itu terserang panik.
Jeongguk datang pagi buta seperti ini?
Ia segera menutup laptop dan menyembunyikannya ke dalam salah satu laci yang tersembunyi di balik bantalan sofa. Barang itu tidak boleh diketahui siapapun. Identitas, rahasia, bahkan informasi kelompoknya—akan menjadi taruhan.
Ia merapikan kemeja putih yang ia kenakan, berusaha memasang ekspresi seduktif khas yang biasa ia kenakan di hadapan Jeongguk.
Jimin menghela napas, kaki – kaki telanjang itu berjalan menuju pintu. Jimin mengintip sejenak, wajah yang berada di depan pintu apartemen membuat dirinya terkejut dan segera membuka pintu tanpa ragu.
"Yoongi?"
"Hai."
Jimin segera menarik lengan Yoongi untuk masuk ke dalam apartemennya. Pria Park itu segera mengunci pintu, berlari menuju ruangan tengah, menutup jendela raksasa dengan gorden otomatis, serta mematikan lampu utama. Ia bahkan menutup segala hal yang memungkinkan orang untuk melihat ke dalam apartemennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
opera
Fanfictionjimin, jeongguk, mereka membenci. mengincar nyawa satu sama lain. namun takdir menjadi lebih kejam, sedikit; mereka yang sudah terlanjur harus saling menghancurkan, harus rela membunuh hati masing - masing. "dia pasti malaikat." "tatapannya aneh...