Prolog

27.6K 685 13
                                    

Percayalah, seberat apapun masalah hidup kita hari ini, akan tiba masanya saat kita berdiri, dan menoleh ke belakang, kita tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Percayalah, seberat apapun masalah hidup kita hari ini, akan tiba masanya saat kita berdiri, dan menoleh ke belakang, kita tersenyum. Kita telah melewatinya, dan kita menjadi lebih baik.

-Tere Liye-

❄️❄️❄️

"Belum tidur?" tanya Afran saat melihat Amierra masih ada dalam posisi seperti sebelum dia meninggalkannya mandi.

"Aku punya permintaan, Kak," ucap Amierra pelan, seraya menggigit bibir bawahnya. Memilin ujung baju tidurnya menahan rasa gelisah yang bergejolak di dalam hati.

"Boleh, Sayang. Katakan saja," balasnya seraya membenarkan letak rambut Amierra ke samping telinga.

Gadis itu menundukkam kepalanya, "Amierra ikhlas dimadu, Kak."

Afran menghentikan gerakan tangannya di kepala Amierra.

"Maksud kamu?"

Sejenak Amierra menghirup oksigen kuat-kuat, berusaha mencegah untuk tidak menangis di depan suaminya sekarang.

"Menikahlah dengan dia, Kak. Aku ikhlas."

Afran lantas menggelangkan kepala, saat tahu siapa yang dimaksud Amierra.

"Tidak!" jawabnya dingin, seperti tidak boleh ada bantahan.

"Kak. Aku mohon. Kakak lebih tahu kehidupan dia."

"Demi Allah Amierra. Apa yang kamu pikirkan tentang pernikahan! Pernikahan bukan hal yang patut dipermainkan seperti ini!"

Pertahanan Amierra runtuh setelah Afran membentaknya. Air mata yang sudah merengsek minta dikeluarkan, akhirnya keluar juga.

"Dia lebih membutuhkan Kakak daripada aku. Aku di sini baik-baik saja, memiliki segalanya. Keluarga, teman, kesehatan, kasih sayang. Tapi ia sendiri, Kak." Tangis Amierra semakin deras. Nafasnya sudah tidak beraturan.

"Lihat Kakak!" Afran menangkupkan kedua tangannya ke wajah Amierra, lalu mengunci pandangan Amierra.

"Kakak tahu tidak ada perempuan yang mau dimadu, Ra. Termasuk kamu. Kenapa? Kamu diancem sama dia? Bilang sama Kakak kalau dia ganggu kamu lagi. Tidak perlu menyuruh Kakak menikahi dia. Kamu tahu kalau Kakak cuma cinta sama kamu, sayang sama kamu. Jadi jangan meminta hal bodoh itu lagi. Sekuat apapun kamu menyuruh, Kakak tidak akan sanggup."

Hati Amierra mencelos mendengar ucapan tulus Afran. Dadanya sesak seolah terhimpit batu.

"Cuma kamu satu-satunya penyemangat hidup Kakak," ucap Afran sebelum mencium kening Amierra lama, lalu menenggelamkan Amierra ke dada bidangnya.

Afran tahu. Ia mahfum jika semua wanita tidak akan pernah bisa membagi cintanya. Sekuat apapun dia, setegar apapun orangnya. Wanita hanya ingin dipertahankan, dan dinomor satukan. Jadi jika dia menuruti perintah Amierra. Istrinya itu pasti akan terluka juga.

"Tapi, Kak. Dia lebih membutuhkan Kakak. Aku tahu, karena aku perempuan. Dia tidak hanya sakit, tapi juga sendiri. Tidakkah ada rasa kasihan dihati, Kakak." Bahu Amierra bergetar hebat di pelukan Afran.

"Sssttt. Sudah ya. Tidak perlu bicara aneh-aneh lagi. Kamu tahu pernikahan bukan hal main-main. Niatnya juga tidak boleh sembarangan. Kalau kamu ingin Kakak menikahi dia karena rasa kasihan, itu tidak akan bisa." Afran mengusap-usap punggung Amierra memberikan ketenangan.

"Jangan menangis lagi." Afran melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata yang sudah memenuhi wajah Amierra.

"Sekarang, tidur saja. Sudah malam." Amierra hanya menurut, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Pikirkan sekali lagi permintaanku, Kak. Kalau tidak mau poligami, ceraikan saja aku." Entah keberanian dari mana dirinya bisa berkata seperti itu. Matanya ia pejamkan rapat-rapat, tangannya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Dia hanya tidak mau bahagia di atas penderitaan orang lain. Hanya itu. Setidaknya dengan cara ini dia bisa membantu gadis yang terbaring lemah di rumah sakit sana.

.
.
.
.
.
-TO BE CONTINUED


Jawa Tengah
23 Shawwal 1439 H || 7 Juli 2018 M
Zee


Mujahadah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang