Dengan gugup, Marina menarik lengan Rino.
"Sudah sana masuk, Rino. Nanti Rino masuk angin," Marina bertukas sambil ikut beranjak berdiri.
Arman menghentikannya dengan menarik lengan Rino dan sebelah tangannya yang lain menghela Marina untuk tetap duduk di tempatnya.
"Ayo, Rino.mandi dulu ya. Mau main kerumah Eyang?" tanya Arman kepada Rino yang segera disambut Rino dengan jingkrak kesenangan.
"Mau! Mau!" seru Rino kegirangan.
"Man!" Marina hendak protes tapi udah terlambat. Arman sudah menggerakkan tangannya kearah pintu sebagai kode agar Rino segera masuk ke rumah.
Secepat kilat, Rino melesat lari seperti peluru masuk ke rumah sambil memanggil Man Ten, "Maaaakkk, Rino mau mandi! Mau kerumah Eyang!"
Setelah Rino pergi, Arman memalingkan wajahnya ke arah Marina. Pandangan matanya tajam penuh tuntutan dan pertanyaan.
"Apa artinya ini, Ina. Ayah yang mana yang kata Rino telah ada di surga? Ada dimana Ardi saat ini?" nada suaranya masih tetap lembut tapi kali ini lebih tegas.
Tangannya bersedekap di dada dan matanya menatap lurus kearah Marina. Marina kehilangan kata-kata. Matanya balas menatap Arman, ingin menerka apa yang berkecamuk di hati Arman. Ada pijar di mata Arman. Marahkah dia karena Marina telah dengan sengaja menutupi kenyataan bahwa Ardi telah tiada? Well, Marina bisa memahaminya. Marina merasa sepert pesakitan di persidangan. Dia tahu, sekarang perlindungan terakhirnya telah runtuh. Ini adalah hari dimana semua kenyataan yang ingin disembunyikannya rapat-rapat dari Arman terungkap. Marina sebetulnya berniat untuk mengatakannya pada Arman, tapi nanti disaat masa akhir tugas penelitiannya. Tak disangkanya bahwa kenyataan itu harus diungkapkannya lebih cepat. Sesaat hanya ada keheningan diantara mereka.
Akhirnya sambil menghela nafas Marina menengadahkan wajahnyadan dengan meneguhkan hatinya dia berkata pelan "Ardi, suamiku, memang telah meninggal." Ada jeda sejenak dalam kalimat Marina sebelum dia melanjutkan pengakuannya kembali. "Aku saat ini adalah orang tua tunggal bagi Rino. Aku adalah ibu sekaligus ayahnya," jawab Marina dengan suara menggeletar dan tercekat. "Tapi aku tak ingin siapapun mengasihani kami, termasuk kau. Dan demi Rino aku tak ingin ada gunjingan karena ibu nya adalah janda. Jadi jangan coba-coba menyalahkanku karena tidak berterus terang kepadamu karena..."
Tangan Arman terulur lalu berhenti sesaat penuh keraguan di udara sebelum pada akhirnya dia meletakkan jari telunjuknya ke bibir Marina. Dengan punggung tangannya yang lain, Arman menghapus air mata yang menggenang di sudut mata Marina.
"Sssssstttt...Sudah-sudah, Ina."
Kemarahan yang sempat muncul di sudut hati Arman mendadak sirna dipenuhi dengan pengertian. Marina melakukannya untuk melindungi Rino. Bagaimana Arman bisa menyalahkannya? Diatas semua kepentingan pribadinya, Arman sangat mengerti, Rino adalah prioritas terbesar Marina. Melihat wanita itu bersedih, Arman merasa hatinya ikut berduka. Tapi menunjukkan simpati kepada Marina mungkin akan melukai harga diri wanita itu. Meskipun Arman sangat ingin merengkuh wanita dihadapannya itu dan menenangkan hatinya, Arman menahan diri untuk tidak melakukannya. Marinanya bukan seperti wanita kebanyakan.
"Aku tidak menyalahkanmu, Ina. Maafkanlah aku yang karena ketidaktahuanku sudah mengatakan hal-hal yang tidak pada tempatnya tentang Ardi. Aku tahu kau adalah ibu dan istri yang hebat. Tidak mudah membesarkan Rino seorang diri tanpa ayahnya. Aku malu bila mengingat kelakuanku yang kekanak-kanakan," kata Arman sambil menatap Marina.
Marina memalingkan pandangannya ke halaman. Degupan jantungnya tak beraturan. Di sebelahnya, Arman mengamati wajah Marina sejenak.
Lalu sambil mengikuti arah pandangan Marina, dia pun memberanikan diri bertanya,"Ada sesuatu yang ingin kutahu, Ina. Bila kau pada kenyataannya memang telah sendiri, kenapa kau menolak untuk membuka hatimu padaku? Apakah penantianku sekian lama ini betul-betul tak bisa menyentuh hatimu?"
Mendengar pertanyaan itu Marina memejamkan kedua matanya. Dari samping, Arman melihat bulu mata Marina yang lentik itu mengatup.
"Aku bukannya tak tahu akan ketulusanmu, Man. Hatiku juga bukannya tak merasa tersentuh. Tapi lihatlah, aku punya Rino yang harus kufikirkan terlebih dahulu. Dan aku masih ragu, betulkah kalau aku menyambut perasaanmu itu adalah yang terbaik bagi kita semua?" Setelah menarik nafas panjang, Marina menoleh dan menatap lekat-lekat Arman.
"Sungguhkah di hatimu itu tidak ada wanita lain yang lebih pantas selain diriku, Man? Sudahkah kau pertimbangkan bagaimana reaksi orang tuamu dan para tetangga? Aku tahu adalah seorang pria dewasa sekarang. Bukan lagi remaja tanggung tujuh belas tahun yang kujumpai di Darmaraja. Apa kau sungguh-sungguh sudah mempertimbangkannya baik-baik sebelum membuat komitmen denganku? Karena komitmen itu haruslah sepaket dengan Rino."
Arman balas menatap Marina," Ina, kaufikir pria macam apakah aku ini? Kau tahu berapa lamakah penantianku? Ujian apa lagikah yang harus kulewati untuk membuatmu yakin bahwa harapanku untuk bisa menghabiskan sisa umurku disimu itu bukanlah keinginan sesaat pemuda tujuh belas tahun? Ibuku menyayangimu dan juga menyayangi Rino. Kukira bagiku itu sudah lebih dari cukup. Pandangan para tetangga tidaklah penting bagiku. Kau adalah wanita yang merdeka dan aku pun tidak terikat komitmen dengan siapapun. Dan tentang Rino, dia adalah belahan hatimu. Dengan demikian dia akan menjadi belahan hatiku juga. Aku tidak pintar berkata-kata juga tak ingin memberikan janji yang muluk-muluk padamu. Pintaku, lihat dengan mata hatimu. Kini setelah aku tahu bahwa kau telah sendiri, aku ingin kau mengizinkanmu untuk membagi bebanmu padaku. Aku tahu kau wanita yang hebat dan kau tak membutuhkan bantuan siapapun untuk membesarkan Rino. Aku hanya ingin berada disisimu dan berbagi cerita bersamaku. Fikirkanlah dan pertimbangkanlah. Jika memang aku masih harus menunggu, katakanlah padaku. Aku akan menantimu. Aku sudah menantimu selama dua belas tahun. Apalah artinya penantian sekian tahun lagi. Tapi berjanjilah, janganlah menghilang dari pandangan mataku." Mendengar hal itu,mau tak mau runtuhlah air mata Marina. Dengan cepat diusapnya air matanya saat mendengar langkah kaki kecil Rino dari dalam rumah.
"Om, Rino sudah mandi. Yuk, main ke rumah nenek," Ajak Rino sambil menggelayut manja kepada Arman. Arman merengkuh tubuh kecil Rino. Sambil menyusupkan kepalanya ke kepala Rino, matanya menatap lurus kearah Marina. Mesra.
"Hem...Harum! Sekarang Om Arman percaya kalau Rino sudah mandi. Ayo, kita berangkat! Rino pamit dulu ke Ibu ya," perintah Arman diikuti anggukan setuju dari Rino. Bocah itu lalu menghambur dan memeluk ibunya.
"Rino main ke rumah Eyang ya, Ibu. Sampai nanti, Bu."
Marina mengerjapkan matanya, menahan air mata yang nyaris jatuh.
"Jangan nakal ya Rino. Patuh pada Om dan ingat sebelum Isya sudah harus pulang. Oke?" ujar Marina sambil menggosok-gosok punggung Rino.
"Oke, Ibu!" seru Rino sambil tersenyum gembira. Arman lalu mengulurkan tangannya untuk menggandeng Rino sambil beranjak dari duduknya.
"Ina, kami pergi dulu. Sampai nanti ya," Arman berpamitan.
Pandangan mata mereka saling bertaut. Desiran lembut menyentuh hati Marina saat dia menyadari Arman memanggil namanya dengan lebih lembut dan mesra. Kini setelah dia tahu bahwa Marina adalah seorang wanita yang tidak terikat pada penikahan, Arman dengan penuh keyakinan memberi Marina tatapan yang dipenuhi luapan kasih sayang. Lidah Marina terasa kelu. Hanya anggukan kecil yang bisa diberikannya pada Arman dan Rino.
![](https://img.wattpad.com/cover/151645047-288-k77658.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari di Sela-sela Cemara
RomanceTidak setiakah dia bila jatuh cinta lagi? Dua belas tahun lalu Marina meninggalkan Arman karena ada begitu banyak perbedaan diantara mereka. Tapi saat takdir mempertemukan mereka kembali, bolehkah kali ini Marina jujur pada perasaan pada perasaannya?