Bagaimanakah warna hatimu?

24 1 0
                                    

Setengah berlari Marina bergegas menuju ke balai desa. Hari ini dia berjanji bertemu pengurus kelompok tani untuk mendiskusikan kebun kopi siapa saja yang dipilihnya untuk menjadi plot pengamatan. Untunglah dia tepat waktu. Alangkah tidak sopannya bila datang terlambat ke suatu acara yang dia sendiri sebagai pengundang.

Pak Sardi, Pak Tukijan, Pak Saino,...
Saat tengah asyik mengabsen dalam hati seluruh undangannya yang hadir pandangan mata Marina bertemu dengan sepasang mata yang jernih dan tajam.

Arman...Cepat-cepat Marina mengalihkan pandangannya sambil melanjutkan mengabsen. Disaat yang sama, yang dipandang tersenyum kecil lalu kembali melanjutkan percakapannya dengan pria paruh baya di sebelahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Marina menggeser duduknya dan mengambil mikrofon. Setelah mengucapkan salam, Marina mengutarakan tujuan pertemuan hari itu kepda seluruh yang hadir dib alai desa Sumberagung. 

"Bapak-bapak sekalian, terima kasih atas kehadirannya. Hari ini saya ingin memberitahukan hasil survey saya untuk memilih lokasi penelitian. Jadi saya berencana bekerja di enam kelompok jenis lahan, Pak."

Jeda sejenak.

"Pertama, di hutan terganggu. Yang kedua, di hutan pinus Perhutani, lalu kopi monokultur yang umur muda, kopi monokultur umur tua, agroforestri kopi yang umur muda dan agroforestri kopi yang umur tua," Marina menjelaskan desain penelitiannya dan terlibat diskusi dengan para pemilik kebun kopi yang sudah dipilih menjadi lokasi penelitiannya yang salah satu diantaranya juga dikelola Arman.

Itu bukan kesengajaan sebetulnya. 
Pada saat memilih lokasi dan mencatat nama-nama pemiliknya, Marina tidak menemukan nama Arman di dalam daftarnya. Tentu saja seandainya tahu, dia akan berusaha menghindari hal itu.

Siapa sangka nama yang tertulis dalam daftarnya, Tugiman, ternyata adalah paman Arman yang sekarang tinggal di kota Malang dan menyerahkan pengelolaan kebunnya kepada Arman. Jadi, tak mungkin dihadapan sekian banyak pasang mata, Marina mencoret nama Tugiman dari daftar yang sudah diedarkannya kepada khalayak ramai dibalai desa itu. Orang – orang pasti akan bertanya-tanya apakah sebabnya. Dan, Marina masih ingat sindiran Arman padanya, meskipun usianya lebih matang dibandingkan Arman, Marina belum tentu lebih lebih dewasa dalam menyelesaikan masalah. No way! Marina harus bersikap professional dan bisa memisahkan antara urusan pribadi dan pekerjaan.

Pukul sebelas, pertemuan usai sudah. Saat sedang berkemas-kemas dan mengawasi ibu-ibu yang membantunya merapikan kembali perlengkapan pertemuan balai desa Arman mendekati Marina. 

"Ina, kalau boleh tahu rutemu ke plot yang di hutan apakah sudah ditentukan? Kalian akan masuk lewat jalur yang mana?" 

"Belum. Aku belum menentukan titip pengamatan untuk hutan. Rencananya mungkin akhir minggu ini, disela-sela kegiatan pengukuran di plot Perhutani. Ada saran?" tanya Marina tanpa melepaskan pandangannya dari kegiatan bersih-bersih balai desa.

"Kalau aku boleh sarankan, jangan masuk lewat jalur ini, mana petamu biar kutunjukkan," kata Arman sambil meraih peta topografi di hadapan Marina. 

Sekarang mau tak mau Marina mengalihkan pandangannya dan menatap lebih serius ke peta topografi yang dibentangkan Arman di lantai di hadapannya. 

"Nah, ini Ina. Jalur ini sebaiknya kau hindari saja," Arman menggaris dengan jarinya di atas peta.

"Kenapa memangnya," tanya Marina.

"Disitu, hutan bagian itu memang kondisinya masih cukup bagus, tapi kau akan masuk ke bagian yang sering digunakan orang-orang untuk judi sabung ayam. Sebaiknya kau menghindar saja dari daerah itu. Kalau memang ingin lewat jalur itu, biarlah aku menemanimu naik kesana," tukas Arman serius.

Mentari di Sela-sela CemaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang