Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Lalu hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Begitulah kujalani hari-hari tanpa merasakan sesuatu yang istimewa.
Mengenang hari-hari yang kulewati membuatku teringat akan memori yang pernah membekas baik di hati maupun di benakku.
Benakku menggambarkan senyum manis dan tawa renyahmu ketika kulontarkan beberapa canda. Benakku juga menggambarkan tatapan hangat yang selalu kau berikan padaku ketika jarak membuat kita saling merindu. Sedangkan hatiku kembali merasa gugup ketika kau memberikan hal-hal kecil dari ketulusanmu yang tak pernah kubayangkan sama sekali.
Aku tidak bisa menipu diriku sendiri, karena nyatanya walau sekeras apapun aku katakan tidak, tapi aku merindukan semua itu kembali terjadi.
Aku hanya manusia biasa yang tak berdaya. Semua imajinasi kita tidak bisa terrealisasi. Kini, kamu sudah berdiri di depan altar dengan senyum paling lebar yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Tatapan teduhmu lurus, mengarah pada seorang wanita yang kuharap itu aku. Sedang aku hanya bisa berdiri di depan bangku jemaat, memberikan tepukan tangan paling meriah sesuai dengan instruksi pewara.
Tenang, aku tidak akan pernah menyesali semua ini. Aku tahu, akan menjadi sebuah kenangan yang sia-sia jika kita menghabiskan waktu bersama ketika kehendak Tuhan bukan menjadikan kita teman hidup.
Aku memang akan merindukan tawa renyahmu, atau tatapanmu, atau candamu yang terkadang tidak lucu sama sekali. Tapi, inilah kita. Tanpa aku dihari-harimu. Tanpa kamu dalam setiap pagi siang malamku. Tanpa kita berdua merajut kenangan bersama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories
RandomCerita-cerita pendek yang terinspirasi dari berbagai memori yang menempel dalam kehidupan saya. Bagian per bagian adalah cerita yang berbeda:)