II. Tsukuyo

456 22 19
                                    

Kagura terdiam sebentar sambil memandangi Tsuki. Tangannya bergerak, menyuap sukonbu ke dalam mulutnya.

"Apa saja," kata Kagura. "Bagaimana caranya agar aku tidak bertengkar dengan Sougo."

"Kau salah besar jika kau tidak mau bertengkar dengan Sougo," kata Tsuki. "Kalian harus bertengkar. Harus ada konflik dalam sebuah pernikahan. Tujuannya, agar mendekatkan kalian. Agar kalian belajar dari masalah yang terjadi pada rumah tangga kalian."

"Konflik yang kalian buat adalah ujian kesetian kalian sebagai pasangan hidup. Kalian harus bisa menghadapi setiap permasalahan yang ada. Konflik mengajarkan kalian untuk menjadi dewasa yang sesungguhnya."

"Aku senang bertengkar dengan Gintoki. Karena bertengkar membuat kami semakin dekat. Perjuangan kami untuk membenahi keadaan agar baik kembali juga terlihat. Seberapa besar usaha kami untuk mengembalikan suasana. Ya, walaupun kebanyakan masalah diselesaikan di atas futon, tapi paling tidak, aku dan Gintoki bisa melewatinya dan menyelesaikannya dengan baik."

Kagura tidak menjawab. Dia mengunyah dan memperhatikan Tsuki yang sedang memutar-mutar kiseru milik Gintoki.

"Tapi," Tsuki berdeham. "Gintoki yang selalu memulai pertengkaran. Si uban bodoh itu adalah biang dari segala keributan kami."

"Kenapa?" tanya Kagura.

"Aku paham maksudnya. Dia hanya ingin hubungan kami jadi lebih berwarna. Dia tak mau hubungan kami berjalan dengan datar-datar saja. Semakin banyak konflik dan pertengkaran, semakin baik," jawab Tsuki.

"Lalu, siapa yang minta maaf duluan?" Kagura kembali bertanya.

"Siapa pun. Tidak penting siapa yang minta maaf duluan. Minta maaf duluan tidak menjadikanmu pahlawan atau menandakan bahwa kamu lebih dewasa. Tapi, minta maaf duluan menunjukkan siapa yang lebih peduli pada hubunganmu," terang Tsuki.

"Kami jarang mengucapkan kata 'maaf'. Gintoki apalagi. Sekalinya dia minta maaf, pasti ada kejadian besar yang menimpa kami, seperti saat aku keguguran beberapa waktu lalu. Dia minta maaf padaku, dan dia memilih untuk menyimpan rasa bersalahnya dalam hati. Aku tidak masalah dengan itu."

"Kenapa begitu?"

"Tidak semua perasaan yang kau rasakan harus ditunjukkan pada orang lain, Kagura," kata Tsuki. "Gintoki tahu bahwa, jika dia merasa bersalah terhadapku, aku juga akan merasa demikian. Jadi, dia menyimpannya untuk menghindari kesedihan. Gintoki tidak mau aku ikut merasa sedih atau kecewa."

Tsuki perlahan tersenyum tipis. "Tapi, aku sebagai istrinya pasti menyadarinya. Aku selalu memaksanya untuk meluapkan perasaannya padaku. Walaupun tidak semua perasaan harus ditunjukkan dan diutarakan pada orang lain, aku ingin Gintoki melakukannya padaku. Karena sebagai pasangan suami dan istri, kami hidup bersama dan kami tidak bisa menghindari satu sama lain."

"Dengan dia mengutarakan isi hatinya padaku, dia akan merasa lega. Aku tidak mau dia terbebani perasaannya sendiri. Tapi, jika kamu sudah menikah, kamu pasti tahu apa yang sedang terjadi pada suaminya dan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Kagura. Aku mengalaminya. Meski Gintoki tidak membicarakannya padaku, aku akan berusaha membuatnya nyaman dan tersenyum tanpa menanyakan apa yang terjadi padanya."

Kagura menganga. "Wow, sehebat itukah hubungan suami dan istri?"

Tsuki mengangguk. "Tergantung bagaimana kalian menjalaninya. Aku dan Gintoki tidak pernah membicarakan soal komitmen. Komitmen itu tidak dibicarakan, tapi dijalani. Sebagai suami-istri, kalian tanpa sadar sudah berkomitmen untuk mendampingi satu sama lain. Di saat pasanganmu sakit, bahagia, kecewa, sedih, dan lain-lain. Itu kewajiban kalian sebagai pasangan."

"Menikah tidak semudah itu, Kagura. Percayalah. Kau bisa menjadikan aku dan Gintoki sebagai contoh. Kami selalu bertengkar. Tapi, kami takut kehilangan satu sama lain. Kami sama-sama bertarung di medan perang. Tapi, kami selalu mencari satu sama lain. Gintoki selalu bilang padaku, kalau dia berusaha untuk tetap hidup untuk melihat orang-orang yang dia cintai. Dan aku adalah orang pertama yang dia cari."

"Mempertahankan satu sama lain itu yang sulit. Ada banyak cara dan alasan untuk menggagalkan sebuah hubungan. Aku dan Gintoki menghindari hal itu tanpa perlu membicarakannya. Kami tahu apa yang harus kami hindari. Kami tahu apa yang menghancurkan dan memisahkan kami."

"Seperti aku bilang tadi, mempertahankan orang yang kamu cintai tidak mudah, Kagura. Aku pernah melewatinya. Dan sampai sekarang, aku belum menemukan alasan untuk tidak mempertahankan orang seperti Sakata Gintoki. Gintoki orang yang aku butuhkan, bukan orang yang aku mau. Dan dia membuktikannya."

Kagura terdiam sejenak. "Secinta itukah kamu pada si uban bodoh itu, Tsuki?"

Tsuki tersenyum lebar. "Secinta itu aku pada pria yang menyelamatkan hidupku, Kagura. Secinta itu aku pada si pemalas itu. Secinta itu aku pada pria yang mau menerima kekuranganku dengan menikahiku."

"Gintoki menyelamatkanku dari Yoshiwara. Dia membawaku pergi dari sana. Dia menyelamatkanku dari Yoshiwara tanpa melarangku untuk kembali."

Tsuki mengisap kiseru-nya dan mengembuskan asapnya dengan perlahan. "Gintoki adalah cinta matiku, Kagura. Tak ada pria yang lebih sinting dan pengertian selain dia."

Kagura tersenyum lebar. Entah kenapa dia senang mendengar Tsuki memuji Gintoki seperti itu.

Di saat Tsuki dan Kagura bicara, tak ada yang sadar bahwa si uban bodoh itu berdiri di balik pintu bersedekap, dan tersenyum lebar sambil menatap ke lantai.





-END-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Listen 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang