ACT I. THE MAN WHO'S NOT PERCHING UPON HIS OWN REVERIE

11.4K 1.6K 486
                                    

Chapter I
Amidst the lake's depth, a lone hope endures.

Polusi udara nampaknya sudah semakin teruk saja dari hari ke hari. Sepertinya asap knalpot masih kurang menyakiti, beberapa manusia itu masih menambahkan asap rokok yang bara apinya terkadang terbang kemana-mana di tengah jalan kala sedang berkendara.

Arvin berdecak sembari menurunkan kaca helm yang ia kenakan, dirinya sudah tidak sabar untuk segera berpisah jalan dari bapak perokok yang berada tepat di depan motornya. Asumsi Arvin beliau termasuk kategori perokok sangat berat, sebab sudah nyaris 3 km bersama, ia terus sibuk mengisap tembakau.

Jangan salahkan Arvin, laki-laki itu sudah berusaha mati-matian untuk mendahului motor si bapak. Lucunya seperti memang sudah ditakdirkan menjadi perokok pasif, Arvin terus-terusan terjebak di lampu merah yang sama dengan beliau.

Laki-laki itu berdeham sembari melirik ke arah lampu lalu lintas yang berubah menjadi kuning. Belum juga si hijau menyala, bunyi klakson sudah gaduh mengudara. Kebiasaan.

Tangan kanannya bergerak untuk menarik gas, bersiap menarik diri dari teriknya matahari dan macetnya Jalan Slamet Riyadi, jangan lupakan si bapak perokok kelas kakap yang masih asyik mengeluarkan asap dari dalam mulutnya sembari berkendara. Sebatang tembakau tadi ia jepit di antara dua jari sembari menarik gas motor.

Sekiranya tinggal satu lampu merah lagi sebelum Arvin sampai di lokasi tujuannya, sebuah toko buku terbesar di Kota Surakarta. Gedungnya nampak gagah dengan gaya klasik lawas yang didominasi warna cokelat muda, cukup memikat mata, apalagi karena letaknya yang strategis di jalan arteri kota.

Agenda Arvin hari ini sebenarnya cukup sederhana. Laki-laki yang tengah menjalankan magang di sebuah biro konsultan itu mendapat cuti setengah hari, tidak miliki jadwal kegiatan lain selain menjalankan revisi buat Arvin membulatkan tekad untuk mencari kado ulang tahun mantan kekasih sekaligus teman lamanya hari ini.

Benar, mantan kekasihnya.

Mari kita memutar waktu sebentar pada saat di mana Arvin masih berusia 18 tahun. Tahun pertama ia berkuliah di Kota Surakarta. Tahun pertama ia melepas mimpinya dan memilih untuk mengikuti jejak masa depan yang digaris oleh orang tua. Sekaligus menjadi tahun terakhir Arvin mencari seseorang dari masa lalunya yang menghilang begitu saja bak abu yang diarung ke laut.

Sebelum bergelut dengan bidang arsitektur di sebuah kampus negeri di Kota Semarang, dulunya Arvin adalah seorang mahasiswa jurusan kedokteran di sebuah kampus swasta besar di Kota Surakarta.

Hidup bergelung penyesalan selama nyaris satu tahun lamanya buat orang tua Arvin tidak mengizinkan anak semata wayangnya itu untuk merantau. Kasarnya, sukma laki-laki itu sempat melenggang meninggalkan raga. Berlebihan, namun sungguhan, Arvin hidup dalam murung menghabiskan sisa hari di masa Sekolah Menengah Atas. Tes ujian masuk perguruan tinggi negeri semuanya gagal, seperti ada yang tidak beres dengan isi kepala laki-laki itu, padahal sebelumnya ia masuk dalam jajaran 10 besar paralel di sekolah.

Pada akhirnya, Arvin dapat masuk ke dalam sebuah universitas swasta berbekal tes nilai rapor. Deretan angka pada rapor laki-laki itu memang nyaris sempurna, angka kurang dari 90 dapat dihitung dengan jari.

Memasuki bangku perkuliahan, ekspektasi Arvin yang menyangka akan datang secercah harapan untuk merajut kembali masa depan seakan-akan pupus saat tahu bidang kesehatan malah menusuk batinnya lebih dalam ke belakang. Ini bukan dunianya. Ini bukan semesta yang Arvin bisa nikmati dalam hidupnya. Hari demi hari di jurusan kedokteran hanya menekan lehernya lebih keras, terus-terusan mencekik hingga kehabisan napas.

Waktu bergulir, melihat teman-temannya yang lain mulai menikmati dunia baru menjalin kasih dengan seseorang sempat buat laki-laki itu berpikir untuk lari dari masa lalu dan membuka sebuah lembar baru dengan orang lain.

To Be Loved by a WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang