Kelopak matanya berkerut, dahinya mengernyit, perlahan matanya terbuka karena sinar matahari yang mulai terasa menyilaukan. Sampai benar-benar sudah terbangun dari tidurnya, ia meraih ponselnya untuk melihat jam. Tertampil angka sepuluh titik sembilan di layar, lalu ia letakkan kembali ponsel itu dengan asal di atas kasur.
Mengucek matanya sembari bergerak bangkit dari tempat tidur, ia kemudian langsung mengambil tujuan ke kamar mandi. Beberapa menit ia habiskan di dalam ruangan itu. Saat keluar, kondisinya telah berubah drastis. Tampak lebih segar.
"Halo."
Ia menerima telepon saat kebetulan sekali ada panggilan masuk setelah selesai berpakaian.
"Iya, gue di kosan," tanggapnya lagi menjawab pertanyaan dari seseorang di sambungan telepon.
"Oke, kalo gitu."
Setelahnya panggilan selesai.
Pria itu kemudian beralih ke meja komputer. Menyalakan perangkat elektronik itu, lalu duduk bersiap di hadapannya. Kedua tangannya mulai bergerak lincah bergerak di atas keyboard dan mouse, dengan matanya yang fokus ke monitor.
"To the GrandLand Battle, fight!"
Tak lama berlalu, suara-suara berisik dari perpaduan ceklikan keyboard dan mouse serta sound effect dan voice over dari game yang dimainkannya itu mulai memenuhi kamar. Namun, tak ada suara sama sekali yang keluar dari mulutnya. Kondisi seperti itu bertahan sampai hampir satu jam lamanya. Sampai sekitar tiga babak permainannya usai, setelah itu baru tampak mulai meregangkan sendi-sendi.
Ia menghela napas sambil menyandarkan diri pada kursi, mengitarkan pandangan ke seluruh sisi kamar indekosnya yang tampak sangat lengang. Padahal memang beginilah rutinitasnya sekarang, tapi entah kenapa dirinya masih belum terbiasa, rasanya terlalu hampa. Tanpa disadari, sepertinya ia merindukan beberapa momen riuh yang dulu pernah dilaluinya.
Hal itu jadi memunculkan pilu dalam benaknya. Sudah cukup lama ia menyendiri setelah perpisahan itu. Meski keinginannya besar untuk kembali, tapi kepesimisannya jauh lebih besar untuk dapat membuatnya terealisasi. Ia tahu, rasa penyesalan tak langsung membuatnya bisa mendapatkan kesempatan lagi.
"Ekhem." Ia berdeham sendiri karena mendadak tenggorokannya terasa kering. Lantas ia bangkit beranjak keluar kamarnya menuju dapur. Mengambil botol air minum dari kulkas dan langsung menenggak isinya sampai habis setengah. Namun, tak hanya sampai di situ. Ia lanjut mengambil gelas dan satu saset kopi instan, lalu menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Ia sempat mencicipinya sedikit setelah diaduk. Setelah dirasa pas, kemudian membawanya kembali ke kamar.
Saat baru duduk, ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. Melihat nama kontak yang sama dengan yang meneleponnya tadi, ia lantas mengabaikannya, tetapi langsung beranjak ke depan untuk membukakan pintu.
"Tinggal ketok aja padahal."
Laki-laki di depan pintu indekosnya itu menampilkan cengiran di wajah karena komentarnya barusan. Ia mengenalnya dengan baik, namanya Fabyan, tapi lebih sering dipanggil Pabe. Salah satu roster termuda di timnya dulu.
"Kan, gue introvert, Bang. Ngetok pintu juga bisa nguras social battery tau," kilah Pabe.
"Introvert abal-abal lo, mah."
Tak menanggapi lagi sindiran itu, Pabe langsung merangsek masuk meski belum dipersilakan oleh tuan rumahnya. Tanpa perlu usaha untuk mencari tahu, kelakuannya telah membuktikan pernyataan itu.
"Bang Rik, lo lagi maen?"
Riko menghela napas. Ia sudah tahu akan menguras energi lebih banyak meladeni bocah itu. Namun, ia tak merasa begitu keberatan. Setidaknya suasana di indekosnya ini jadi tak terlalu sepi dengan adanya Pabe.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Way Ticket
RomansRiko mendapatkan dua tiket sekali jalan ke dua tujuan yang sangat ingin ia datangi. Namun, ia hanya bisa memilih salah satu. Lantas, apa yang harus ia lakukan? Jika semua opsi sama-sama menciptakan luka, apakah merelakan keduanya menjadi keputusan y...