Rasa ingin tahu

36 4 0
                                    

Beberapa menit hening menyelimuti Ciel, Luci, dan Attes. Mereka seakan terjebak dalam ilusi mereka sendiri. Luci terlihat bergikir keras seakan menimbang sesuatu dan Attes memandang langit dengan tatapan kosong.

Ciel berusaha mencairkan suasana dengan memanggil nama kedua pelanyannya yang selama beberapa menit mendadak bisu seperti Limbad.
" Luci, Attes? Kalau kalian nggak berkenan cerita nggak apa apa kok. Lagian nanti gue juga bakalan belajar di Argma. Jadi kita mendingan langsung pergi ke tempat itu sekarang. " sebenarnya Ciel penasaran tapi ia cukup peka dengan keadaan kurang mengenakkan. Ia memutuskan untuk diam dan tidak bertanya. Daripada suasananya makin canggung ?

Luci dan Attes bertatapan sebentar kemudian mengangguk. Setidaknya nona mereka sudah tahu 2 dari 3 klan utama.

***

" Dia sudah datang ke Austrolyus. Sepertinya rencanamu akan berjalan lancar kan?"

" Iya kau benar Zalim. Keponakanku sudah besar ya? Jadi bagaimana keadaan kakak dan kakak iparku?"

" Tidak ada tanda-tanda kehidupan mereka. Bahkan sampai sekarang sihir Adhita masih melindungi Moryfeg. Sungguh besar pengaruhnya bagi semua klan."

" Bagaimana dengan klan Devva? Sudah ketemu?"

" Mereka seakan melebur bersama gelap ketika Adhita pergi dari negara ini. Masih belum ada tanda-tanda kehidupan mereka. Kekuatanku tidak cukup untuk mencari mereka. "

" Jadi kita menunggu? Cepat cari mereka! Aku tidak peduli kalau kau harus mati. Cepat cari klan itu agar aku mencapai tujuanku."

" Yes, my master. "

***

Ciel dibuat ternganga oleh pemandangan di depannya. Sebuah sekolah dengan gaya khas eropa dan berbagai pohon yang didominasi warna biru tua dan biru langit. Banyak bangunan berbentuk menara dengan tinggi menjulang hampir setara dengan monas di Jakarta. Ciel seketika merasa seperti berada dalam kastil dan hutan secara bersamaan. Kata Luci negara ini memasuki musim dingin, jadi semua pohon di Austrolyus berubah menjadi biru.

Seperti wartawan yang kepo terhadap kisah cinta selebritis, Ciel tidak berhenti bertanya pada Luci dan Attes. Mereka hanya mengelus dada menanggapi kelemotan Ciel yang sudah level akut.

" Nonaaa..... Kan kita berada di dimensi lain. Wajar kalau segala sesuatunya berbeda dengan yang ada di kehidupan manusia. Kita juga bukan manusia biasa karena mendapat kekuatan iblis dan malaikat. Paham????!! " Luci ingin sekali mengunyah kayu detik itu juga. Bahkan Attes yang melihat, menatap lelah dan berusaha agar ia tidak tersulut emosi. Bahaya kalau dia membanting nonanya ke tanah. Bisa-bisa dia jadi perkedel di tangan Revier.

" Lho tapi kan pohon itu punya klorofil. Klorofil warnanya apa? Hijau kan. Nah berarti seharusnya pohon disini warnanya hijau bukan biru. Pohon ini kelainnan ya?"

" Kalau pohonnya kelainnan, kita juga pasti kelainan Nona."

" Kalau kalian sih iya. Gue sih enggak. Gue normal. Nggak kayak kalian. Yang satunya pucet kayak mayat direndem dibekline setahun. Yang satunya, warna bibir kayak habis kecium kebo. Lagian kalian itu ganteng bingit. Rasanya nggak manusiawi."

" Iyain aja biar seneng. Gue nyerah Tes. Lo dari tadi diem mulu dah? Lo nggak lagi nahan boker kan?"

" Gue baik-baik aja Luc. Gue cuma heran kalau Tuan Revier pinter, ini kok lemot banget sih? Turunan darimana coba?" Attes sedikit bebisik kepada Luci. Namun percuma karena Ciel mendngar semuanya.

" Oke fine! Gue emang nggak sepinter kakak gue ataupun sekuat ayah gue dan nggak selembut mama gue! Gue paham kok kalau posisi gue seharusnya ditempatin oleh kakak. Makasih udah ngetegasin posisi gue!" Ciel berjalan dengan langkah gedebak gedebuk meninggalkan Luci dan Attes yang merasa bersalah.

" Attes, ini salah lo. Gue nggak ikut campur."

" Wei jangan gitu lah. Lo juga tadi nggak sabar sama Nona. Yang jelas, lo sama gue itu salah."

"Gimana nih?"

Sementara mereka tenggelam dalam rasa bersalah, Ciel sudah kabur untuk melihat-lihat sekolah sambil berguman. " iya kok gue nggak pinter. Salah sendiri gue yang seharusnya jadi putri malah harus jadi ratu dan raja bersamaan. Ah nasib gue gini amat yak?"

Dukk...

" Wadaw! Gue nabrak apa ya?"

Ciel terpana. Sepasang mata sebiru langit menatap lurus padanya. Ia seakan tenggelam dalam ilusi yang tercipta dari pemandangan indah di depannya.

Hah indah?

Ciel buru-buru bangun dan menatap polos ke arah Laki-laki yang ia tatap. Dia masih saja menatap mata laki-laki di depannya. Begitu tenang dan mengintimidasi.

" Udah puas natap mata gue?"

Ciel terbangun dari lamunannya. Aw sexy voice batin Ciel hah? Gue mikir apa sih?

" Kalau ada orang ngomong itu didengerin bukan malah bengong. Lo sehat kan?"

" Hah?"

" Ck, bego banget. Minggir kalau lo nggak mau gue bakar."

Aduh, kamu aja udah membakar hatiku maz! Batin Ciel

Orang itu berlalu pergi meninggalkan Ciel yang memasang muka polos bego minta di gampar. Untuk beberapa detik Ciel lupa mengingat namanya sendiri.

Gilak tuh orang! Ganteng banget! Luci dan Attes lewat. Siapa namanya ya? Suaranya aja aduhai banget. Ketiban rejeki nih namanya. Fuahahaha

TBC

Kok agak gaje sih?

GUE MINTA MAAF! *sungken depan pembaca*

Yah gaje nggak gaje, gue tetep suka nulis. Gue nggak perduli sama tanggapan orang.

Ini hobby gue sih

Salam ฅ'ω'ฅ

Royal Magic : Héritiers Magiques Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang