Invidious|8|

76 52 0
                                    

Bola basket tentu tidak seempuk bantal yang dilempar Fiona saat berkelahi di kamar. Tidak seringan baju yang ia lemparkan saat mengamuk. Tidak sekeras palu yang bisa memecahkan kepalanya. Tapi tak kalah keras dengan tembok.

Tubuh Flora terhuyung kehilangan keseimbangan. Bumi seakan bergoyang. Kepalanya sangat sakit sampai penglihatannya kabur. Tapi Flora juga sempat-sempatnya ingin memarahi sang pelaku disituasi itu dan umpatannya tertelan kembali setelah melihat Reno dengan panik berlari mengahampirinya.

Reno menahan tubuhnya yang merosot dari bangku.

Flora memang tidak pingsan seperti korban bola basket di film atau drama yang ia tonton. Flora juga bukan gadis cengeng yang langsung menangis. Walau pun semua itu tidak terjadi tapi kepala Flora perlu dipertanyakan kondisinya.

Flora memegangi kepalanya.

"Lo nggak papa? " tanya Reno, panik.

Ya kenapa-kenapa lah ogeb!!

Sayang sekali saat ini bukan waktunya untuk mengumpat, terlebih lagi pada Reno.

Seisi lapangan tak kalah panik. Jelas, rekan timnya telah melukai kepala orang.

"Kepala gue mau pecah," gumam Flora ngawur.

Makin panik lah Reno. Karena panik tangan Reno meraih tangan Flora yang memegangi kepalanya.

"Jangan dipegang, sakit bego!!" semprot Flora berteriak.

"Perlu ke rumah sakit?"

"Bawa ke rumah sakit aja udah!" kata salah satu teman Reno mengompori.

"Nggak mau!!" teriak Flora tak kalah keras dan terlalu ngotot.

"Terus gimana? " Reno menggaruk rambutnya yang tidak gatal saking paniknya. Teman-temannya malah memperburuk kepanikannya dengan mengelilingi mereka tanpa bertindak.

"Ambilin es cepetan!" teriak Si ketua, tim basket.

Reno dengan sigap mengambil es dari tangan temannya. Membungkusnya dengan sapu tangan lalu menempelkannya ke kepala Flora berharap bisa meredakan sakit.

"Sakit," keluh Flora.

"Gue bawa ke uks, ya?" tawar Reno.

"Nggak mau. "

Fiona heran dengan perginya tim basket lapangan  pun menghampiri. Matanya melotot menemukan Flora terduduk dilantai dan Reno sangat dekat dengan saudaranya itu.

"Flora kenapa?" tanya Fiona memecah kerumunan.

"Kena bola," jawab seseorang.

Flora masih meringis ketika Reno mengompres kepalanya lalu mengambil alih. Karena insting khawatirnya, Fiona mencoba memeriksa keadaan saudarannya yang berakhir terkena semprotan ganas macan berwujud Flora.

"Jangan disentuh!!" Fiona sontak terkaget lalu menjauhkan diri.

Begitulah nasib  kalau punya saudara mirip macan lahiran.

"Gue mau pulang," kata Flora.

"Gue anterin pulang, ya?" Flora mengagguk mengiyakan tawaran Reno.

Masa bodoh kalian mau mengaggap Flora sedang modus. Selagi ada kesempatan dalam kesempitan kenapa tidak ia ambil.

Dalam hati Flora bersorak gembira. Ada manfaatnya juga tertimpa bola.

Reno memapah Flora setelah meminjam mobil salah satu temannya untuk mengantarkan Flora pulang.

Di dalam mobil Flora masih meringis karena kepalanya masih sakit dan sangat pening. Ia bersandar dikursi dengan mata tertutup.

"Sorry," gumam Reno yang hampir tidak terdengar.

"Hm?" Flora membuka mata.

"Gue minta maaf banget, sumpah gue nggak sengaja. "

"Iya."

"Yakin nggak mau ke rumah sakit? Lo baik-baik aja, kan?" tanya Reno untuk kesekian kalinya. Ia masih tak mau berhenti untuk khawatir.

"Gue nggak baik-baik aja tapi gue nggak mau ke rumah sakit. "

Setelah mengalahkan kemacetan jalan yang terlalu panjang, mereka akhirnya tiba di rumah Flora. Reno turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu Flora.

Ketika Reno hendak memapahnya lagi, Flira menolak dengan alasan kepalanya yang sakit bukan kakinya yang keseleo.

Setelah mengucapkan salam, muncul sosok yang tidak asing dari dalam rumah. Flora sendiri langsung duduk di kursi depan rumah sambil memegang kepalanya.

"Eh, ada Reno." ucap Rai, ramah. Rai lalu mempersilahlan Reno masuk ke dalam rumah.

"Lhoh Flo, kenapa tiduran disitu?" tanya sang Mama yang akhirnya peka dengan anaknya sendiri.

"Pusing," jawab Flora singkat.

"Kamu sakit? Ayo masuk dulu." Rai menghampiri anaknya, memeriksa suhu tubuh Flora lewat sentuhan punggung tangan dikening Flora.

Flora sontak meringis lalu menepis. "Sakit, Ma."

"Kenapa sih?"

"Kena bola basket. Dia yang ngelempar tuh, " adu Flora dengan gaya anak SD  sambil menunjuk Reno yang masih berdiri di dekat pintu dengan dagu.

Tubuh Reno menegang seketika. Tatapannya terfokus pada Flora lalu beralih ke pandangan Rai. Mirip maling yang tengah tertangkap basah.

"Astaga, Flora!" umpatnya dalam hati.

Ini kenapa punya doi jujur banget, ya.

Sang calon mertua trdiam sesaat, bingung dengan situasi yang sebenarnya terjadi.

"Hish, Flora." Rai menegur Flora yang mengadu layaknya anak kecil sekaligus tidak enak dengan Reno yang menegang. "Ayo masuk."

Reno duduk di ruang tamu dengan perasaan tidak enak karena melukai kepala anak orang. Terlebih lagi dia adalah gadis yang sedang menyita perhatiannya selama ini.

Rai meletakkan segelas minuman di atas meja di depan Reno. Mempersilahkan tamunya untuk minum dengan ramah.

"Em.. Saya minta maaf ya, Tante.  Saya benar-benar nggak sengaja ngelempar bola ke kepala Flora. "

"Udah, nggak papa. Anaknya juga udah baik-baik aja, kan. Palingan Flora nya yang nggak mau diam."

Sungguh ibu yang jahat. Kalau Flora mendengarnya, sudah dipastikan akan ada toa menggema di rumah ini.

Reno meminum minuman buatan Rai untuk menghormati. Tubuhnya gerah karena tidak sempat mengganti baju basketnya dengan seragam lagi tadi. Disisi lain Reno masih khawatir dengan Flora yang kini sudah anteng didalam kamar.

"Kalau gitu saya pamit dulu, Tan. Udah sore soalnya," pamit Reno seraya beranjak dari sofa disusul Rai.

"Yaudah, makasih ya udah nganterin Flora. "

Rai mengantar Reno sampai di depan rumah. Disaat itu juga ternyata Fiona sampai. Wajah lesunya langsung berubah cerah ketika menemukan Reno di depan rumahnya.

"Eh, kirain udah pulang," sapa Fiona.

"Iya, ini lagi mau pulang. Permisi, Tan" pamit Reno sekali lagi sebelum menghampiri mobil.

"Hati-hati, Ren. "

Jujur Fiona sedikit kecewa. Sudah dua hari dia tidak berbincang lama dengan Reno. Tapi disaat bertemu, waktu tidak berpihak padanya. Pesan yang ia tunggu juga jarang menampakkan diri lagi membuatnya menghela nafas kecewa.

InvidiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang