SAKA GURU | 1. Pertemuan: Apa Kabar?
•-•-•°•-•-•
"Dia guru juga, kan?""Iya, Yah."
"Dia PNS?"
"Alhamdulillah, iya, Yah."
"Kalau gitu, ngga."
Eh?
"Lah, kok Ayah gitu, sih?!"
Bahkan sampai detik ini aku tak tahu alasan kenapa ayah menolaknya. Ini kali kedua aku meminta izin, dan sama seperti sebelumnya, permintaanku ditolak, mentah-mentah.
Permintaanku selalu sama, pun pertanyaan ayah tentangnya pun selalu sama. Apa salahnya kalau menjadi guru? Bahkan status PNS-nya pun tak ubahnya hanya gelar bagi Ayah, tak memberikan dampak apapun bagi keputusannya.
Lagi, ku coba merengek dengan melontarkan pertanyaan yang ku harap dapat merubah keputusan Ayah.
"Ayah juga PNS, kalau Ayah lupa," kataku mengingatkan, menyindir lebih tepatnya.
"Justru itu, dek, Ayah tidak ingin pendampingmu ngga lebih dari Ayah. Kamu udah guru, kamu pun PNS, seenggaknya carilah yang bukan seprofesi kamu," jawab Ayah sambil menatap lekat mataku.
Aku terdiam. Masih tidak memahami jalan pikiran Ayah.
"Apa sih yang sebenarnya Ayah khawatirkan tentangnya? Hanya karena profesinya?" Tanyaku lagi, tak menyerah.
Ayah diam. Menerawang langit-langit ruang kerjanya.
Semenit.
Empat menit.
Bahkan sepuluh menit.
Sunyi. Tak ada jawaban. Alih-alih menjawab, Ayah malah memintaku--atau lebih tepatnya mengusirku-- keluar dari ruang kerjanya, diiringi helaan nafasnya yang terdengar kasar.
"Ayah capek, baru pulang dinas. Kamu juga pasti capek, kan? Gih, sana istirahat dulu. Besok-besok kita bahas lagi," putus Ayah sepihak.
"Tapi, Yah...." belum sempat ku selesaikan kalimat nanggungku, ayah kembali menyela, "Ngga ada tapi-tapi, dek. Istirahatlah."
Fine! Aku pergi. Selama itu buat Ayah senang. Tapi jangan harap aku akan diam saja dengan keputusan Ayah.
Ingin sekali ku teriakan kalimat itu tepat didepan Ayah, supaya Ayah tau, aku pun sefrustasi itu.
"Baik, Yah. Selamat malam," aku mengecup pipinya sebelum menjejak lemah kakiku untuk lekas keluar.
*
Sudah seminggu ini tampaknya dewi fortuna tak mau memihakku, ada saja ketidakberuntungan yang hinggap disela-sela aktivitas harianku.
Seperti hari ini, bayangkan saja, aku telah bangun sejak pukul 4 pagi. Sekali lagi ku ulangi, jam 4 pagi saudara-saudara! Dimana adzan subuh belum berkumandang dan ayam-ayam kesayangan ayah di belakang sana pun belum niat untuk menyuarakan kokokannya, tapi aku malah harus berkutat menyiapkan segala tetek bengek media belajar yang akan kupakai di kelas nanti. Asal kalian tahu saja, ini caraku mensiasati pengeluaran. Pelit? Bukan, bukan, aku ini manusia yg memegang teguh prinsip hidup hemat, "kalau bisa buat, kenapa harus beli?". Ya, itu prinsipku yang bagi sebagian teman-temanku merepotkan. Bodo amat.
Setelah menuntaskan segala tetek bengek tadi, aku segera bergegas membantu ibu di dapur--menyiapkan sarapan tentu saja, kemudian mandi, berdandan, dan langsung sarapan bersama Ayah, Ibu, dan Mas Naryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKA GURU
ChickLitNirwasita Banafsaj Shiddiq, putri seorang abdi negara, Ayahnya PNS tingkat provinsi, dan ibunya Guru yang juga berstatus PNS. Dengan latar belakang keluarga yang hampir ke semuanya adalah PNS, membuat ia tak habis pikir karena ayahnya tak ingin puny...