Hari itu setelah siklus belajar mengajar selesai. Rindu dan aku memburu waktu pergi kerumah Aldi. Udara yang sebelumnya menguap tergantikan dengan arakan awan hitam yang menghiasi langit.
"Naik motor gue aja gimana?" tanyaku kepada Rindu.
"Angkot saja." jawab Rindu singkat. Aku paham alasan dia tidak mau naik motor bersamaku. Selain akan menimbulkan gosip baru di sekolah, jelas dia tidak mau mengambil risiko lebih dari itu.
Saat duduk di dalam angkot pun, Rindu memilih duduk terpisah dariku. Dia adalah tipe yang sangat menjaga jarak. Aku memaklumi prinsipnya.
"Jika dugaanmu benar... Kalau ayah angkat Aldi tidak pernah memaksa Aldi untuk bekerja ketimbang belajar di sekolah, mugkin saja nanti kita bisa lebih mudah bicara dari hati ke hati dengan ayahnya" cuit Rindu.
"Tapi itu hanya firasat gue saja, sih"
***
Saat turun dari angkot, kita harus masuk gang-gang tikus. Rindu masih memimpin di depanku, menelusuri kelok jalan sempit itu. Banyak anak-anak berpakaian lusuh, mungkin saja mereka telah putus sekolah, menjadi pengamen, pemulung, seperti anak jalanan kebanyakan.
"Masih jauh, Rin?"
"Sebentar lagi," jawab Rindu tanpa menoleh kebelakang. "Nah, itu rumahnya." sambungnya sambil menunjuk satu rumah yang dipenuhi dengan tumpukan barang-barang bekas. Terlihat lusuh dan kumuh.
Kita semakin mendekati rumah itu, bau sampah menyeruak menggilas pernapasanku. Aku hampir muntah sambil menutup mulut dengan telapak tanganku. Tapi saat melihat Rindu, aku mengurungkan reaksi kejutanku tadi. Aku atur ulang pernapasanku, bila perlu kuhembuskan udara sebanyak mungkin walau menghirup begitu sedikit. Seluruh isi perutku yang hendak loncat keluar, seperti harus kutelan lagi ke dalam perut. Aku harus bersikap seolah kuat dengan keadaan ini. Tidak! Gue harus kuat! Teriakku dalam hati sambil memandangi Rindu yang tampak tenang-tenang saja didepanku sembari kedua mataku merah dan basah menahan semua itu.
***
Langit kian gelap. Aldi tergopoh-gopoh meninggalkan kegiatannya di pabrik. Selain memang tugasnya telah selesai, dia tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama disana. Terlebih lagi ada seseorang yang sedang ia khawatirkan keadaanya.
Upah hasil kerjanya selalu dibayar di muka perhari. Sambil mengantongi uang dari hasil jerih payahnya hari itu, dia melenggang menuju rumah makan padang. Dia membeli lauk telur dadar lengkap dengan sambal balado, sayur nangka, dan sedikit kuah rempah khas Padang.
Dia keluar membawa dua nasi padang yang terbungkus itu. Dia tatap ke atas langit, titik-titik hujan jatuh di atas wajahnya yang kurus kusam. Sepeda tua itu dia kayuh. Dia ingin segera pulang.
***
Sejak tiba di rumah tua itu, aku hanya melongo. Daun pintu reot dibiarkan terbuka, atau mungkin pintu itu memang tidak bisa ditutup lagi karena terasa begitu lapuk.
Ketika Rindu mungucap salam. Ada seseorang yang menjawab salam itu sambil terbatuk-batuk. Aku menduga mungkin itu Ayah Aldi. Rindu sedikit bingung saat menatapku dibelakangnya.
"Siapa, ya?" Suara itu terlontar dari dalam rumah.
"Kami teman sekolah Aldi, Pak" jawab Rindu tenang dengan suara merdunya itu.
Tiba-tiba, seorang laki-laki pucat menjulurkan wajahnya. Saat tubuhnya keluar dari pintu sepenuhnya, aku begitu yakin jika laki-laki itu sedang sakit.
"Kamu...? " ucap laki-laki pucat itu saat mentap Rindu. Rautnya seperti tengah mengingat-ingat seseorang.
"Iya, Pak. Saya Rindu. Teman SD Aldi dulu" jawab Rindu menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UKHAS
Teen FictionPROLOG Namaku UKHAS. Tahun ini aku kelas dua SMA. Temanku banyak, tapi yang bisa menjadi sahabatku hanya dua: Rei dan Tristan. Kita berteman sejak kecil. Di Taman Kanak-kanak kita pernah menjalani kisah bersama. SD sampai SMP kita belajar di sekol...