Satu

57 13 3
                                    

"Gue salah liat gak sih? Itu Langit!"

Beberapa gadis memekik saat seorang Casanova sekolah mereka masuk ke kelas X IPA 4, tanpa izin, bahkan tanpa salam. Cowok itu pun menjatuhkan bokongnya di salah satu kursi, sengaja atau tidak, ia menjatuhkan bokongnya di kursi yang tepat berada di samping gadis yang kini memperhatikannya dengan sinis.

Jingga.

"Jangan belajar terus." kata Langit tiba tiba.

Jingga mengenal cowok itu, ah-- lebih tepatnya sekedar tau saja. Siapa yang tidak mengenal Xabiru Langit Deerawlan. Nama yang cukup aneh untuk seorang cowok seperti Langit. Entah mengapa orang memanggilnya langit.

Tapi kata orang Langit sama layaknya Langit. Tinggi.

Bukan hanya soal tinggi dalam ukuran tubuh, tapi juga tinggi dalam kedudukan. Langit merupakan cucu donatur terbesar di sekolah, hanya donatur bukan pemilik. Dan di jajaran anak anak brandal yang sudah pasti troublemaker, Langit selalu jadi yang tertinggi.

Sedangkan gadis yang bernama lengkap Senjana Tara Jinggani, hanyalah gadis yang suka dengan tumpukan buku, dan membenci cowok yang bermasalah. Termasuk Langit tentunya. Maka itu, Jingga tak suka jika Langit berdekatan dengannya.

"Pergi." kata itu keluar dari bibir Jingga, bermaksud mengusir Langit yang justru menaikkan sebelah alisnya.

Bukannya beranjak pergi Langit justru mengambil salah satu buku tulis Jingga. Matanya menatap sampul buku yang tertulis nama lengkap Jingga. Langit membacanya seperti anak TK yang baru mengerti huruf.

"Sen-jana Tara Jingga-ni?"

Jingga tetap diam. Meski beberapa kali matanya memperhatikan anak kelasnya yang menjadikannya pusat perhatian tanpa berniat membantunya mengusir Langit.

Lagian, siapa yang berani?

"Dipanggil Senja ya?" tanya Langit dengan senyumnya yang terlihat sinis namun menyebalkan.

"Jingga!" Jingga membantah. Nada tidak suka dari bibir Jingga justru membuat Langit tertawa. Sumpah demi apapun, Jingga membenci Langit sekalipun orang orang menyebut Langit lelaki idaman semacam pangeran. Jingga tidak peduli.

"Mau lo apa sih?!"

"Lo kenal gue gak?" Langit membalasnya dengan pertanyaan.

Jingga menggeleng, "Gak kenal, dan gak pengen kenal."

"Yaudah yuk kenalan," Langit mengulurkan tangannya namun Jingga enggan untuk membalas, Langit yang kesal pun menarik tangan gadis itu dan menjabatnya dengan paksa, "Nama gue Xabiru Langit Deerawlan. Lo bisa panggil gue Biru."

Semua yang ada di kelas tersebut, terkecuali Langit, membulatkan mata mereka. Tentu saja mereka kaget dengan perkataan Langit yang menyuruh Jingga memanggilnya Biru. Setau mereka, tak ada yang bisa memanggil Langit dengan nama Biru terkecuali keluarganya sendiri.

Begitun pun juga dengan Jingga. Tubuh gadis itu serasa membeku dengan panggilan itu, entah mengapa rasanya jiwanya terlempar ke masa lalu. Jingga tak bisa berkutik lagi, apalagi saat Langit tersenyum begitu manis kepadanya.

Dengan perasaan ambigu, Jingga berdiri dari bangkunya, berlarian membelah kerumunan orang dan meninggalkan Langit yang kini meneriaki namanya, "Senja mau kemana?!"

🌃🌇🌃

Langit membuka pintu sebuah ruangan, terdengar decitan yang selalu membuat ngilu dari pintu yang sudah tua itu. Kedatangan Langit bersama sekaleng minuman soda ditangannya membuat semua orang berdecak kesal. Namun tidak dengan Langit, sama sekali tak ada rasa bersalah karena sudah datang terlambat.

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang