"Lo sebenernya kenalkan sama mereka, Ngga?" Lira bertanya lagi. Lagi dan lagi hingga Jingga dibuat pusing dengan pertanyaannya yang selalu saja sama.
Jingga terus saja memperhatikan papan tulis lalu menyalin kata dari sana ke dalam buku tulisnya. Lagi lagi Lira di abaikan dan Jingga terus saja mengelak saat Lira mengintrogasinya mengenai Langit. Lira tau Langit. Sekali lagi, semua orang tau Langit.
"Gue temen lo, loh Ngga. Setidaknya gue harus tau dan faham apa hubungan lo sama Langit si most wanted sekolah ini!" Lira ngoceh lagi. Jingga hanya berdecak sebal lalu menutup buku tulisnya. Usai menyimpan semua perlengkapan belajarnya di dalam tas, Jingga berdiri dari duduknya.
"Ayo Ra, makan. Kayaknya lo laper, soalnya ngoceh mulu kayak kambing kurang nutrisi."
"Jingga! Gue serius," Lira menghentak hentakan kakinya sebal.
"Gue juga serius. Kambing kurang nutrisi ya kayak lo gini, ngoceh mulu." ujar Jingga, sadis. Gadis itu pun melengos pergi dan meninggalkan Lira. Cepat cepat Lira menyusul sahabat karibnya sejak SMP itu. Karena jika Lira sedang kepo, semuanya harus tuntas agar ia bisa tidur dengan tenang.
Lira sudah berteman dengan Jingga sejak SMP. Dari kelas 7, keduanya tak terpisahkan walau beberapa kali terpisah kelas, keduanya terus saja akrab hingga memilih SMA yang sama. Nasib mereka sedang baik sepertinya saat sekolah menyatukan mereka dalam kelas yang sama.
Lira berhasil menggapai Jingga yang terburu buru pergi ke kantin. Di tengah koridor, Lira menarik Jingga dengan paksa untuk duduk di salah satu bangku disana. "Oke, gue gak bakal kepo lagi asal lo mau jawab pertanyaan gue kali ini."
Cepat cepat Jingga berdiri seraya menepis tangan Lira yang mencekalnya, "Kalo lo nanya soal cowok yang waktu itu di Aula, gue gak mau jawab."
"Enggak, gue bakal nanya soal yang lain."
"Oke, apa?" Jingga kembali duduk. Lira pun memposisikan tubunya dan Jingga berhadapan, matanya menatap tajam iris mata Jingga. "Jawabnya cepet ya,"
Jingga mengangguk.
"Satu tambah satu?"
"Dua!" jawab Jingga cepat.
"Kalo matahari tenggelam?"
"Senja!"
"Kalo Xabiru Langit?"
"Cinta Pertama!"
"OMO!" Jingga menutup mulutnya rapat rapat bahkan sesekali menamparnya pelan karena sudah menjawab pertanyaan Lira dengan kata kata bodohnya. Lira menatapnya dalam, dengan sebuah senyuman sinis, alisnya pun ia mainkan menggoda. "Xabiru Langita? Cinta Pertama? Bisa di jelaskan Senjana Tara Jinggana?"
Jingga menggeleng, masih dengan membekap mulutnya rapat rapat Jingga berdiri lalu berbalik arah dan berlarian meninggalkan Lira. Lira ikut berdiri, mengejar Jingga yang berlarian di tengah ke ramain. "Jingga, tunggu!"
Jingga tak merespon. Jingga bear benar merasa malu, benar benar malu. Hingga ia terus berlari dan akhirnya, "Jingga, awas!"
'Bruk!'
"AWH!"
'Byuuur!'
"DANISYA!" dua orang gadis memekik bersama melihat temannya yang ditabrak oleh Jingga bermandikan lemon tea yang ia bawa. Bajunya basah, dan tak sedikit juga minuman itu membasahi rambut curlynya.
"Gila anjir, tisue Dar!" pekik Marsha. Dharien mengeluarkan tisu dari sakunya yang cepat cepat ia berikan kepada Nisya yang terlihat masih shock, matanya memelototi Jingga tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen FictionSenja membenci Langit, namun Jingga mencintai Biru. Seperti apa yang telah Semesta kumandangkan, "Senja memang membenci Langit, namun Senja tak akan pernah bisa meninggalkan Langit." Seperti itu lah adanya, namun si Senja yang lemah lembut harus di...