"Pokoknya Senja gak mau sekolah di Nusa bangsa, Ayah!"
Bocah perempuan dengan kuncirnya yang manis itu mendumel kesal. Kakinya ia hentak hentakan ke lantai seraya menarik narik kaus yang Ayahnya kenakan. Memaksa.
"Tapi Senja sudah daftar di sana, dan dua minggu lagi Senja akan bersekolah disana. Lalu, apa masalahnya?"
Gadis itu mengerucutkan bibirnya sebal, kedua tangannya ia lipat di depan dada layaknya orang dewasa padahal umurnya masih berusia 12 tahun. "Senja gak mau sekolah disana! Senja gak mau sekolah di SMP Nusa Bangsa. Pokoknya Senja gak mau sekolah sama dia, Ayah! Senja gak mau ketemu dia lagi."
Heru memperhatikan anak tunggalnya itu dengan satu alis terangkat naik, "Dia siapa yang Senja maksud?"
"Biru! Senja benci sama Biru. Biru anak nakal dan—"
"BANG BIRU, AWAS!!"
'Ciiiiit!'
Suara ban mobil yang beradu dengan aspal jalanan terdengar nyaring. Langit menginjak ban mobilnya dengan spontan saat ia tersadar jika mobilnya hampir saja menabrak pembatas jalan. Untung saja jalanan sedang sepi, jika tidak mobil di belakangnya mungkin bisa saja menabrak bagian belakang mobilnya.
"BANG BIRU!" Kesal, Bintang memukul bahu kakaknya itu dengan keras. Dada gadis itu naik turun, nafasnya tersengal-sengal saking kagetnya.
"Maaf Bintang, Abang gak sengaja. Bintang gak apa kan? Ada yang luka?" ujar Langit, cemas. Bintang menggeleng. "Bintang shock aja, Abang sih ngelamun, udah tau lagi nyetir!"
"Yaudah, lanjut lagi ya."
"Pelan pelan ya Bang, jangan ngelamun lagi!" ujar Bintang, memperingati.
🌇🌃🌇
Pada waktu yang sudah mendekati Maghrib, Langit tiba di perkarangan rumah bersama Bintang. Setelah melepas seat belt, Langit turun diikuti Bintang. Kedua kakak beradik itu memasuki rumah dengan cat tembok dominan monokrom itu dengan santai. Sepi, keadaan rumah selalu seperti ini setiap harinya.
"Biru." Suara berat seorang lelaki mengagetkan Langit dan Bintang. Disana ada Reno ayah mereka yang tengah menonton sebuah tayangan berita di televisi.
"Bintang langsung naik aja, Abang mau ngobrol istimewa sama Papa." ujar Langit mengedipkan sebelah matanya seraya mendorong tubuh Bintang pelan.
"Hilih, Istimewa lagaknya." dicibir seperti itu oleh adiknya, Langit tertawa sedangkan Bintang berlalu begitu saja saat sang kakak duduk berdua di sofa bersama sang Papa.
Bintang tau, ada percakapan yang serius di antara dua lelaki kesayangannya itu.
"Besok Grasia sudah mengambil cuti hamilnya. Dan mulai besok kamu harus rutin mengunjungi Grasia di apartemennya." ujar Reno panjang lebar. Mata biru redup lelaki itu masih terfokus dengan berita yang sedang disajikan di hadapannya. Dan saat ia melihat Langit justru sibuk dengan kue coklat di atas meja, lelaki renta itu berdecak sebal.
"Biru, kamu denger papa ngomong apa?!"
Langit berdecak, "Ish, iya Biru denger, Pa. Lagian kandungannya baru dua bulan, ngapain pake cuti kuliah segala, lebay banget."
Langit sibuk dengan kue coklat di mulutnya, dan Reno sibuk mengganti channel televisi. "Kamu itu harus lebih perhatian pada Grasia. Sebentar lagi kamu bakal jadi ayah dari anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen FictionSenja membenci Langit, namun Jingga mencintai Biru. Seperti apa yang telah Semesta kumandangkan, "Senja memang membenci Langit, namun Senja tak akan pernah bisa meninggalkan Langit." Seperti itu lah adanya, namun si Senja yang lemah lembut harus di...