Bab 7 PEMINDAHTANGANAN PERUSAHAAN

89 2 0
                                    

Semalaman aku merenungkan tentang tanggung jawab yang diberikan Papa Dirga kepadaku, aku mulai menimbang-nimbang, dan tentu berdoa, meskipun masih saja ada setitik keraguan dan ketakutan tersendiri dalam diriku.

"El, kamu masih ingin bertemu mama kamu?" Tanya Kak Chan. Aku mengangguk mantap.

"Jangan menyerah, pikirkan terus, berdoa, dan berusaha sekuat tenaga, pasti bertemu El.." Lanjut Kak Chan antusias, berusaha memotivasiku

"Hati kamu murni El, tidak seperti kakak, penuh kebencian.." Ucapnya lirih.

"Kak Chan benci siapa?" Tanyaku tidak mengerti, karena selama aku mengenalnya, dia sangat baik, tidak ada sikap penuh kebencian dalam dirinya.

"Kehidupan El, kakak tidak terima kenapa semua terjadi, kenapa dibuang? masuk panti asuhan, kurang kasih sayang. Ya, Kakak benci kehidupan, orang tua, bahkan mungkin Tuhan, karena kakak tidak paham dengan rencanaNya yang katanya indah itu. Jangan tiru kakak El, kamu harus tetap tulus, ikuti suara hatimu, mungkin saja Tuhan membisikkannya di situ. Hati kakak sudah ditutup oleh kebencian jadi sudah kebal." Jawabnya.

Di satu sisi kata-kata Kak Chan sangat bijak, di sisi lain Kak Chan menyimpan kebencian yang begitu dalam. Ada dua sisi dalam hidupnya yang bertolak belakang. Peristiwa itu tiba-tiba terngiang di benakku, saat aku kesulitan mengambil keputusan apa yang harus aku ambil, dan saat aku sedang berusaha mendengar suara hatiku.

Memimpin dan memiliki perusahaan besar "Dirgantara Advertising" sungguh di luar pikiranku. Tapi semoga keputusanku tidak salah.

Aku harus mencobanya, apa salahnya aku menerima permintaan Papa Dirga, aku harus yakin bahwa aku mampu.

"Semangat El.." Bisikku berbicara sendiri.

Mentari perlahan mulai menunjukkan kehangatan sinarnya, pukul 6 pagi aku terbangun. Jujur aku masih mengantuk, aku baru tidur 2 jam. Setelah memutuskan untuk menerima tawaran Papa Dirga, aku mempelajari berkas-berkas yang kemarin malam diberikan Papa Dirga kepadaku di ruang kerjanya. Aku mendadak semangat sampai lupa waktu.

Di ruang makan.

"Pagi ma,pa.." Sapaku ke mereka. Meskipun kepala sedikit berat dan mata rasanya ingin tertutup, aku harus tetap ngantor, masih banyak pekerjaan.

"Pagi El," Jawab Mama Nenci

"Pagi nak," Jawab Papa Dirga Mereka menjawab hampir bersamaan. Aku segera mengambil posisi duduk dan menuang teh hijau hangat di cangkir.

"Semalam tidurmu nyenyak nak?" Papa Dirga memperhatikanku. Aku hanya tersenyum, aku bukan pribadi yang pandai berbohong.

"Jangan terlalu dipikirkan, dijalankan saja nak.." Papa Dirga seolah tahu yang ada di hatiku tanpa aku harus mengatakan.

"Nanti Pak Rinto bisa ke sana?" Tanya Papa Dirga. Aku mengangguk. "Siangan ya pa,.." Jawabku

"Pa, jangan tekan El dengan pekerjaan terus, biarkan dia menikmati sarapannya dulu, makan yang banyak El."Kali ini mama Nenci angkat bicara. 15 menit kemudian, akupun berpamitan untuk berangkat kerja setelah mencium kedua tangan mereka dan beranjak keluar menuju garasi mobil.

Beberapa hari ini hujan tidak datang menghampiri, baguslah setidaknya rasa sesak di dadaku tidak sering muncul, entah bagaimana aku menghindari trauma itu, hujan deras selalu membuatku tak berdaya.

Mendadak aku teringat Pak Arlan, beberapa hari ini sama sekali tidak ada kabar darinya, apakah timnya sudah tiba di Surabaya?Apa sudah ada kabar dari kerabat di Surabaya? Apa tante Mer masih ada di sana?Bagaimana dengan orang yang mirip Kak Chan?Apa sudah berhasil mendapatkan informasi?

Tangisan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang