Suruh anak yang namanya Senjani berhenti lari, atau pala lo gue pecahin sekarang.
-Lngt
Dero menyelipkan ponselnya di saku almamaternya setelah membaca pesan dari nomor yang tak ia kenali, namun kata akhir dari kalimat itu membuat Dero harus menurutinya.
"Senjani, masuk ke Aula sekarang!"
Gadis berambut panjang yang sedikit kecoklatan itu berlari menghampiri seniornya itu dengan nafas yang memburu karena sehabis menjalani hukuman lari keliling lapangan sebab ia telat di hari terakhir MOS-nya.
"Saya baru keliling 5 kali kak, masih 5 kali lagi." gadis itu mengakuinya.
Dero menghembuskan nafasnya pelan, "Masuk ke Aula sekarang atau-"
Ting!
Ponsel Dero berbunyi membuat cowok itu menghentikan kalimatnya. Sedangkan gadis di hadapannya sudah memejamkan matanya sejak suara Dero naik beberapa oktaf.
Coba aja bentak itu cewek, robek bibir lu, njg.
Pesan dari nomor yang sama.
Akhirnya nyali Dero ciut juga. Cowok itu mengizinkan cewek yang bernama Senjani itu masuk Aula, tanpa membentaknya hingga menimbulkan tanda tanya besar di kepala gadis itu.
Namun ia berusaha acuh lalu ikut duduk bersama ratusan murid baru lainnya di Aula. Dengan muka yang letih sehabis berlari, yang pasti ia yakin jika bau badannya sungguh tidak enak dicium.
"Jingga, udah hukumannya?" Lira menarik sahabat satu SMP-nya itu duduk di bangku sebelahnya, "Ayo, duduk sini! Sengaja gue tempatin buat lo."
Jingga menurut. Gadis itu duduk di samping Lira yang kini menyodorkannya air mineral, gadis itu meminumnya hingga benar benar tandas.
"Ada parfume gak, Ra? Badan gue bau banget." Jingga, gadis itu memandang pakaiannya yang kini lembab karena keringat dengan pandangan jijik, "Makasih." ujarnya saat Lira menyodorkannya botol imut berwarna pink.
"Perhatian, harap tenang! Rangkaian acara akan segera dimulai." Ujar salah satu senior yang berdiri di atas panggung Aula. Dalam sekejap Aula berubah menjadi hening, dengan semua pandangan lurus kedepan memandang Dias si Ketua OSIS yang telah memegang mic-nya.
Acara pun berjalan dengan lancar, beberapa sambutan dari orang orang penting di sekolah telah di dengarkan. Hingga tiba waktunya jam kosong yang biasanya diisi oleh senior dengan beberapa rangkaian games atau sharing semacamnya.
"Karena ini hari terakhir MOS, saya ingin beberapa dari kalian mengenalkan diri dengan suara yang lantang. Maka saya akan memilih dari," Dias menghentikan kalimatnya sejenak seraya mengamati beberapa anak di ruangan tersebut, "Kamu yang disana!"
Dias menunjuk cowok berambut rambut cepak, cowok itu pun dengan sigap berdiri, "Siapa nama kamu?" tanya Dias dengan microphone.
"Ramadhan."
"SIAPA?!"
"Ramadhan, Kak."
"YANG KERAS! COWOK KAN?!"
"RAMADHAN, KAK!"
"Gak usah nyolot, tolol!" ujar Dias, tak senang. "Udah, duduk! Males gue ngeliat junior songong kayak gitu."
Cowok itu pun menurut dan kembali duduk, dengan bibirnya yang komat kamit menyebutkan sumpah serapah untuk Dias yang menyebalkan.
"Kamu, heh! yang nyender sama temennya!" ujar Dero menunjuk Jingga yang tengah menyenderkan kepalanya di pundak Lira. Cewek itu sontak kaget, lalu menunjuk dirinya sendiri, "Saya, kak?"
"Iya kamu! Cepet berdiri."
Dengan kaki yang setengah lemas, Jingga berdiri. Jingga berani bersumpah jika energinya benar benar di kuras habis di lapangan tadi. Bahkan rasanya untuk berdiri, Jingga tak sanggup untuk berlama lama memijakkan kakinya.
"Siapa nama kamu?!"
"Senjani Tara Ji--"
"YANG KERAS!" potong Dias.
"Senjani--"
"YANG KERAS, NGERTI GAK!" lagi lagi Dias membentaknya membuat mata Jingga refleks terpejam, ia benar benar tak bisa di bentak. Di tambah lagi, suaranya sedikit serak hingga kesulitan untuk berteriak. Tapi ketua OSIS ini benar benar menyebalkan dan bertingkah semaunya.
Jingga menarik nafasnya pelan sebelum kembali bersuara, "Nama saya Sen--"
"SENJANI TARA JINGGANA, KELAHIRAN 15 JUNI 2002, SUKA WARNA JINGGA, BENCI WARNA BIRU. TINGGAL DI KOMPLEK PERMATA KENARI, ANAK TUNGGAL DAN HOBI BERENANG, PUAS?!"
Semua mata tertuju kepada seorang cowok yang berdiri di dekat pintu keluar. Cowok yang baru saja menjabarkan identitas Jingga dengan begitu jelas. Cowok yang bahkan tidak pernah diduga akan berkata demikian di depan ratusan adik kelasnya bahkan teman teman satu angkatannya.
Jingga tentu saja kaget. Ia tak tau mengapa lelaki itu bisa begitu tau identitasnya, tanggal lahirnya bahkan warna kesukaannya. Sayangnya, Jingga tak bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas karena kurangnya penerangan di sekitar pintu keluar.
Hingga akhirnya suara ketukan sepatu terdengar begitu nyaring karena Aula yang terbilang hening. Lelaki itu menaiki panggung dengan kedua tangan yang ia masukan ke dalam saku celananya, ujung bajunya pun tidak ia masukkan sebagai mana mestinya. Langkahnya terlihat santai, namun sorot matanya begitu tajam.
Cowok itu mendekati Dias, benar benar dekat, bahkan maju sedikit saja akan membuat kedua dada mereka bertabrakan. Dengan bibir yang jaraknya begitu dekat dengan microphone, cowok itu menyerukan suaranya begitu lantang. Membuat siapa saja terkaget kaget.
"BERANINYA BENTAK ADEK KELAS DOANG, ANJING!"
'Bugh!'
Satu pukulan mengenai rahang Dias. Hingga terjadilah aksi yang tidak terduga saat cowok itu memukuli Dias tanpa ampun. Beberapa orang mencoba melerai namun sulit di hentikan karena cowok itu yang keburu brutal.
Jingga tetap saja diam. Sama sekali tidak ada niatnya untuk bergerak saat matanya menangkap tubuh tegap cowok itu yang sedang memukuli seorang ketua OSIS. Tubuh Jingga membeku, mati rasa.
🌇🌃🌇
Sejak saat itu, Jingga terus saja merutuki dirinya mengenai sekolah pilihannya sekarang. Sejak saat itu, Jingga menjadi tertutup karena beberapa orang yang sering bertingkah aneh kepada dirinya, bahkan banyak yang bertingkah sok akrab dan memaksa berteman.
Sedangkan cowok yang telah bersikap heroik yang ternyata menjadi pembawa masalah atas kericuhan di Aula beberapa minggu yang lalu, telah menjadi spesies yang benar benar Jingga hindari.
Jingga benci semua yang terjadi pada dirinya sekarang. Karena apa yang seharusnya pergi, ternyata terus saja menetap dan justru memaksa masuk kembali ke ruang hati.
🌃🌇🌃
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen FictionSenja membenci Langit, namun Jingga mencintai Biru. Seperti apa yang telah Semesta kumandangkan, "Senja memang membenci Langit, namun Senja tak akan pernah bisa meninggalkan Langit." Seperti itu lah adanya, namun si Senja yang lemah lembut harus di...