Yang di mulmed Angga gaiss
Spt biasa kalo bayangin yg lain jg
gpp
Selamat membaca <3=0=
Lili pulang ke rumah dengan hati yang sangat luar biasa senang. Satu hari ia habiskan bersama Aksel. Pengakuan tak langsung dari Aksel juga berhasil membuat Lili girang minta ampun.
Lili mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu lalu mengambil handphone dari saku celananya.
Lili : aci gile gue baru plg abis jalan sm Aksel yuhuuuu
Tasya : seriusan? pantes satu hari ga nongol lo
Deya : hati hati li, biasanya kalo udah terbang bakal di jatuhin lagi. siapin pengaman aja deh ya
Arell : cia elah si deya, hobi bgt dah jatuhin harapan orang
Deya : gue ini orang baik. kalo kalian mulai terbang, gue cuman ngingetin kok
Lili tidak bergeming. Masih pada tempatnya. Matanya menatap layar handphone tapi tak di sana pikirannya.
Mungkin perkataan Deya ada benarnya. Kita lihat saja nanti. Apakah perlakuan Aksel akan tetap seperti ini padanya. Atau malah menarik ulur perasaan Lili?
=0=
Suara teriak itu kembali terdengar di telinganya.
"Dasar wanita gatal! Apa yang kau lakukan hah? Siapa laki-laki itu? Sadarlah! Kau sudah punya suami!" teriak lelaki itu lantang.
"Apa maksudmu? Apa ada yang salah saat aku bertemu dengan dia? Yang harusnya sadar itu kamu, Mas! Siapa perempuan itu? Teman kantor hah? Apa ada teman kantor makan berdua? Bergandengan tangan seolah olah sepasang suami istri? Tak tau malu kamu, Mas!" balas perempuan itu tak kalah lantang.
"Diam kau! Tau apa kau! Enyahlah!!"
Lelaki itu berjalan ke sebuah meja, membuka laci dan mengambil sesuatu dari sana.
"MATI KAU!"
Aksel tersentak. Napasnya memburu dan berat. Keringat mengalir deras dari dahinya.
Mimpi macam apa itu?
Aksel berusaha menetralkan napasnya. Matanya melihat sekeliling dan mendapati Angga yang tertidur pulas di sofa. Masih di rumah Angga rupanya.
Matanya terarah pada jam dinding di kamar Angga yang menunjukan pukul 3 pagi. Segera ia bergegas dari sana, pulang ke rumahnya. Takut terjadi sesuatu dengan ibunya.
Motor Aksel membelah udara subuh Jakarta. Dingin ternyata. Motornya berhenti tepat di depan rumah. Aksel berjalan menuju pintu rumah. Dibukanya pintu rumah dan terkejud.
Lemari kaca sudah ambruk ke lantai. Guci dan jam besar di sudut ruangan sudah hancur berkeping keping. Dengan segera Aksel berjalan menuju kamar ibunya. Takut terjadi sesuatu.
"Ma?" panggil Aksel dari luar pintu. Tidak ada jawaban dari dalam. Aksel mencoba memanggil lagi dan tetap tidak ada jawaban. Aksel memberanikan membuka pintu. Dan disanalah wanita itu. Berbaring dengan mata terpejam.
Jelas sekali matanya sembab. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya. Aksel mendekat ke ranjang ibunya. Tangannya menjelajah setiap inchi wajah wanita ini. Keriput yang perlahan lahan mulai bertambah.
Aksel menyayangi ibunya. Ayahnya juga. Namun Aksel tak suka disaat Ayahnya berlaku kasar pada ibunya. Saat teriakan demi teriakan keluar dari mulut ayahnya. Saat ini saja, tidak diketahui dimana keberadaan ayahnya.
Aksel melangkahkan kakinya dengan hati-hati, takut ibunya terbangun. Ia berjalan menuju kamar adiknya, Felix. Dipandanginya wajah lucu itu. Pikirannya kembali ke masa-masa dimana semuanya masih bahagia.
Dua bulan lalu, tidak ada hal-hal seperti ini. Setiap pagi mereka masih sarapan bersama. Candaan sesekali keluar dari mulut ayahnya.
Ibunya juga masih bahagia, jarang atau bahkan tak pernah keluar tangis menyedihkan dari bibir ibunya. Bagi Aksel, lebih aman rasanya jika ayahnya tidak di rumah.
Aksel meninggalkan kamar Felix, menyusuri setiap sudut rumahnya. Setiap sudut yang punya makna penting dalam hidup Aksel.
Dipandanginya sofa ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat ternyaman Aksel. Mereka duduk, mengeluarkan gurauan dan tawa kecil. Terselip rasa bahagia disana yang kini tak lagi Aksel rasakan.
=0=
Satu hal yang Lili benci dari Aksel adalah sikap tarik ulurnya. Baru kemarin Aksel mengajaknya berjalan-jalan, memperlakukan Lili seolah olah Lili adalah pacarnya.
Lili memandangi Aksel yang bergabung dengan kaum 'panjat' di sudut kantin.
Tatapan mereka bertemu, ada gemuruh kecil yang timbul di hati Lili.
'Baper, terbang, jatuh, baper, terbang, jatuh, gitu aja terus sampe Mars di jadiin tempat tinggal.' batin Lili kesal.
"Liatin aja terus," celutuk Keikei.
"Liatin lagi Li, sampe tuh mata lepas," timpal Deya.
Lili memandang ke dua temannya geli. "Bodo ah."
"Eh Li, tadi pagi Aksel dateng bareng Mara."
"Yaudah terus?" Lili berusaha menutupi rasa cemburunya. Sakit tapi tak berdarah.
"Sok cuek, mentok pulang di rumah mewek bawang juga lo," balas Deya.
"Ih apaan? Ya engga lah. Buat apa juga gue nangis. Gak ada status juga ah."
"Jadi lo mau ada status?" Aksel tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka.
"Lah kapan lo jalan?" tanya Tasya bingung.
"Jadi gimana, Li? Mau ada status?" goda Aksel yang tidak menghiraukan pertanyaan Tasya.
"Apaan sih, Sel? Balik gih ke meja lo. Mara liatin tuh," ketus Lili.
"Tapi nanti lo marah sama gue."
"Kan udah gue bilang, ngapain gue marah? Status aja gak punya."
"Emang semalem gak lo anggep, Li?" Aksel mulai serius. Pikiran Lili terbang. Apa maksudnya? Benarkah mereka sudah ...
"LO SAHABAT GUE!" teriak Aksel yang berhasil membuat perhatian seluruh kantin tertuju pada mereka.
Rasanya Lili dilempar ke jurang terdalam. Iya, sahabat.
Percayalah, ada perasaan yang memang harus di kubur dalam-dalam dan dibiarkan hilang dengan sendirinya.
Jangan biarkan dunia mengetahuinya, bahkan dirimu sendiri pun tak boleh mengetahuinya.
Mengelaklah.
••••
udah brp lama gak update nich
maafkeun aku yg update jam 2 subuh ini wkwkwk
btw ini cuman 840+ words:( otak buntu modeon soalnya lol
biasanya aku kan nulis words nya harus 1k gitu lol
btw sekian dulu deh n see u
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold
Teen FictionMungkin, diam adalah cara terbaik menyampaikan rasa. ______ 04.07.18 #TeenlitIndonesia @TeenlitIndonesia