#4 | Undescribed Boy

409 14 0
                                    

"Bu, Meira pulang." Ucap Meira seraya membuka pintu utama rumahnya. Situasinya sangat sepi, tidak ada yang menjawab Meira sejak tadi.

Meira mengetuk pintu kamar Karin, berharap dapat jawaban dari wanita paruh baya tersebut. Namun, tetap saja pintu itu enggan terbuka.

Dengan hati kecewa, Meira merebahkan badannya pada sofa kayu di ruang tamu. Tubuhnya seperti remuk, rasa lelah tengah menguasai dirinya.

Tapi bukan Meira jika dapat mengalah dengan keadaan. Meira anak yang tidak pernah berhenti berjuang. Demi dirinya, dan kelangsungan hidup di dalam rumahnya.

Meira berjalan ke kamar, meletakkan tas punggung dan berganti pakaian. Meira menatap tas hitam klasik miliknya, senyumnya terukir mengingat kenangan dari tas tersebut. Meira akan tetap menjaganya.

"Eitt, gue masak apa ya buat Ibu?" Ucapnya seraya mengetuk dagu berulang kali, setelah sampai di dapur dan mengecek stok makanan yang ia punya.

Sial, batin Meira. Hanya tersisa dua buah telur ayam dan satu bungkus tahu. Tidak kehabisan akal, ia mulai meracik bumbu sendiri. Mungkin, Semur Tahu akan menjadi menu makan siang untuk Ibu nya.

Sambil bersenandung, Meira mulai mencampurkan semua bahan yang telah ia siapkan. Tangannya lincah mengaduk makanan yang sedang memanas diatas penggorengan.

Boleh lah, gue jadi koki terkenal. Ujarnya dalam hati, yang membuat dirinya terkekeh sendiri.

Setelah masakannya matang, Meira mengambil nasi dan lauk tersebut kedalam piring, yang ia sajikan untuk Karin. Senyumnya mengembang, dengan membawa nampan berisi air putih dan makan siang, ia membawa benda tersebut ke kamar Ibunya.

"Bu, Meira bawa makan siang." Meira membuka handle pintu yang tertutup rapat.

Masih dengan posisi  menghadap dinding, Meira tetap tersenyum menatap punggung Ibu nya. Cukup dengan melihat Karin bernafas, Meira seperti diberikan kesempatan untuk terus menjaga Ibu nya.

Meira menghela nafas pelan, Karin belum mau membalikkan tubuhnya untuk menatap anak perempuan tunggal miliknya. "Dimakan ya, Bu. Nanti keburu dingin."

Setelah memberikan makan untuk Karin, Meira pergi meninggalkan Karin dikamar. Meira tetap memaksakan senyumnya, meski tersirat rasa pedih yang ia pendam sejak lama.

***

Rumah dengan warna cenderung hitam-putih menyambut cowok dengan tubuh tegap dan jambul kebanggannya. Ia memanuver mobilnya tepat di depan pintu masuk rumah tersebut. Tetap dengan kacamata yang masih bertengger di batang hidungnya, cowok itu keluar tanpa menoleh ke empat penjaga rumah tersebut.

"Bilang sama Bibi, gue laper!" Ucapnya menghentikan langkah, entah pada siapa. Yang pasti, keempat penjaga tersebut menjawabnya dengan kompak.

"Siap, Mas Rian."

Salah satu penjaga mengambil alat penghubung di saku kirinya. Seperti menghubungkan bagian dapur untuk segera membuatkan masakan untuk Rian.

Rian melanjutkan langkahnya, belum genap empat langkah Rian masuk kedalam rumah tersebut, badannya memutar melihat keempat penjaga tersebut.

"Enaknya, gue makan apa?" Tanya nya.

Keempat penjaga dengan seragam rapih berwarna hitam, menoleh bersama. Saling adu tatap, bahkan mungkin mereka bingung harus menjawab apa.

Satu penjaga yang dikenal bernama Norman menjawab, "Maaf Mas, kan Mas Rian yang mau makan."

"Eh, Preman." Panggilnya.

Undescribed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang