#5 | Undescribed Boy

383 10 0
                                    

Meira merapihkan buku-bukunya lalu memasukkan ke loker disamping kelasnya. Meira memeluk perutnya sendiri, merasakan lapar yang membuat lambungnya sedikit sakit. Tanpa berpikir dua kali, Meira pergi menuju kantin.

Gadis itu merogoh saku pada seragamnya, mengambil uang yang tersisa. Meira menatap selembar uang tersebut dengan nafas lelah, dengan sepuluh ribu, apakah cukup untuk mengisi perutnya di kantin Bakti Pradipta?

Langkahnya semakin mengecil sesaat sampai di pintu masuk kantin. Ia teringat sesuatu, bagaimana dengan ongkos pulang nanti? Mustahil Meira harus berjalan kaki dengan jarak rumah yang cukup jauh dari sekolahnya.

Akhirnya, Meira mengurungkan niat untuk makan dikantin itu. Wajahnya menampakkan kekecewaan yang dalam. Namun, Meira selalu yakin bahwa Tuhan dan Malaikat selalu menjaga dan mengasihi ia.

Seorang gadis dengan rok yang sudah ia potong pendek, menghampiri Meira. Seperti biasa, senyumnya tidak pernah luntur.

"Mei, yuk kantin!" Ajak Saras yang sudah menarik tangannya. "Muka lo udah laper banget tuh."

Meira menggeleng, "Lo duluan deh, Ras. Nanti gue nyusul."

"Ah, gak mau!" Ucap Saras melipat tangannya. "Gue paham lo, Mei. Gue beliin makanan ya nanti." sambungnya melembut. Saras tersenyum, menggandeng Meira untuk ke kantin.

Meira duduk dimeja pojok andalannya. Ia membuka ponsel android yang pernah ayahnya kasih untuk Meira, beberapa tahun lalu sebelum sosok tampan itu meninggal dunia.

Air matanya menetes tiba-tiba, membasahi layar ponsel tersebut. Kenangan bersama Ayahnya sulit sekali untuk ia lupakan, apalagi ketika mencium kening Rudy untuk terakhir kali.

Dibalut dengan kain putih, serta beberapa kapas yang menyumpal telinga dan bagian hidung Ayah nya. Meira tidak sanggup kala itu, menyaksikan tubuh Rudy yang kaku dan dikebumikan bersamaan dengan hujan deras yang mengguyur wilayah itu.

Meira segera menghapus air matanya lalu menghampiri Saras yang tengah memanggil Meira dari kedai bakso. Gadis itu tersenyum, menatap mangkuk bakso yang sudah terisi penuh.

"Makasih, Ras." Meira tersenyum kepada Saras. Saras ikut tersenyum dan menyuruh Meira membawa nampan bakso ke meja mereka.

"Gue pesen minum dulu, Mei." Kata Saras, seraya berlalu.

Meira meletakkan nampan tersebut ke mejanya, dan pergi menuju meja lain yang masih terdapat sambal dan kecap. Memang begitu, meja bagian pojok tidak pernah diberikan bumbu-bumbu pelengkap. Karna kebanyakan dari murid Bakti Pradipta hanya menggunakan meja tersebut untuk mengerjakan tugas.

Tangannya menggenggam mangkuk sambal dan sebotol kecap. Pandangannya kini menuju ke benda yang sedang ia bawa. Memastikan bahwa sambal yang ia pegang tidak tumpah.

Kejadiannya begitu cepat. Seseorang berperawakan lebih besar darinya, menabrak Meira hingga mangkuk sambal tumpah dan menodai seragamnya.

Meira menggeram, menatap seragamnya yang sudah dipenuhi oleh bercak coklat.

"Ups!" Ucap cowok tersebut.

Meira melotot, "Lo punya mata gak?!"

"Menurut lo?" Jawabnya datar.

"Mau lo tuh apasih?! Ini tuh..." Meira berfikir sejenak, "INI UDAH YANG KEDUA KALI NYA LO BIKIN SERAGAM GUE KOTOR!"

Rian tertawa samar, "Emang gue pikirin!"

"Beliin gue seragam baru di koperasi, sekarang!"

"Ogah!"

"Beliin sekaranggggg!"

Undescribed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang