BAGIAN 1

117 10 1
                                    


"Aku tahu kamu berhenti lama dengan apa yang kamu suka beberapa bulan bahkan sampai dua tahun terakhir. San, kamu nggak harus jadi orang lain. Kaya apa yang kamu bilang, aku nggak harus jadi hujan buat jadi sesuatu yang menyenangkan buat kamu, bahkan katamu aku nggak perlu menunggu fajar buat lihat kamu semangatkan?. Bukannya itu sama ?", dihembuskannya nafas berat, kemudian dipeganglah pundakku.

"Kamu nggak harus jadi orang lain. Kamu nggak perlu memaksakan tulisanmu selalu berima dan berbahasa tinggi. Semua berjalan seperti proses yang terjadi dalam hidupmu. Kembali pada dirimu yang dulu. Yang selalu nulis suka duka dan bahkan aku disetiap ceritamu. Aku nggak hanya kangen tapi pengen kamu kembali. Untuk membangun cerita kita yang dulu, dan menikmatinya sekarang. Biar aja kamu suka apa yang kamu tulis dan buat mereka memahami kisah hidupmu. Tapi..." dia berhenti cukup lama dan membuatku menatapnya sayu. "Tapi, jangan terlalu banyak cerita. Simpan sebagian hanya untuk kita," dia tersenyum berusaha meyakinkan kemudian melepaskanku secara perlahan.

Dipakainya kembali earphone di telinganya. Ia tahu, setelah dia banyak berkata dia harus diam jika tak ingin aku larut lebih dalam.

Aku hanya sibuk berfikir mengenai Airlangga yang tiba tiba menghampiriku di kelas setelah jam pelajaran berakhir, hanya untuk berbicara ini dan sekarang kami hanya duduk di koridor dengan kesibukan masing-masing.

"Aku tau, kamu patah hati setelah dua bukumu ditolak penerbit. Tapi bukan berarti kamu harus berhentikan?" dia sepertinya tahu masud hatiku.

"Kamu kenapa bilang gitu sih, Ngga?" kuberanikan diriku bersuara.
Dia terdiam lama, mungkin tidak dengar.

"Kemarin aku lihat fotomu masih ada di daftar prestasi siswa di SMP. Aku ingat kamu yang dulu. Aku pengen baca bukumu lagi. Tapi yang ada akunya," ternyata dia mendengarnya.

"Naskahku yang ada kamunya malah ditolak semua, tau nggak," protesku kemudian memutar badan menghadap ke arahnya.

"Terus kamu mau berhenti? Cuma gara-gara naskah ditolak ada akunya? Kamu taukan nggak ada yang nolak aku kecuali kamu. Penerbitnya belum tau aku, makanya ditolak," sanggahnya masih dengan nada percaya diri.

"Ngga!" kuhentikan segera ucapannya.

"Sekarang lebih banyak buku-buku dengan bahasa kias yang diterbitkan. Pembaca kurasa juga lebih suka. Aku pengen berusaha kaya gitu," sahutku cepat.

"Kamu harus ingat San, pembaca bisa berubah karena salah satu style penulis yang unik dan mereka suka. Kenapa kamu justru mau ninggalin style kamu sendiri? Bukannya kamu bilang mending jadi diri sendiri dengan kualitas nomor satu dari pada jadi yang terbaik tapi kualitas nomor dua? KW dong jadinya," sanggahnya kemudian.

Aku tak lagi ingin membalasnya. Sebenarnya aku pun menyadari betapa sulitnya untuk kembali melanjutkan tulisanku yang telah lama terbengkalai. Bukan Cuma dia, tapi semua bahkan mama dan ayahku pun menanyakan tentang kelanjutan bukuku. Tiap kali ditanya aku hanya bisa tersenyum tipis dan menunduk.

"Ngga, pulang sama siapa?" kualihan pembicaraan setelah cukup lama hening melanda laki-laki itu menoleh kemudian melepas earphonenya.

"Kenapa?" ulangnya dengan dahi yang berkerut.

"Pulang sama siapa?" ulangku membuatnya mengangguk. "Kok malah diem. Kan aku tanya," lanjutku.

"Ayo kalo mau bareng, gapapa. Sendiri kok," mungkin dia mengerti apa yang kumaksud.

"Cuek,"gumamku pelan.

"Kenapa, San?" ia sepertinya mendengar. "Kalo aku nggak cuek disini, nanti yang lain liatin aku. Kan cuma kamu yang boleh tau ngomong banyaknya aku" dia tersenyum dan aku membuang muka ke arah lain. Selalu saja begitu.

AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang