Petang telah berganti malam, bintang perlahan muncul dengan bulan yang naik perlahan. Airlangga, sudah berada di ruang tamu rumahku sejak 10 menit yang lalu. Ia masih setia menatap layar ponselnya dan begitu pula aku. Tak ada sedikit pun keinginan untuk meganggunya malam ini.
“Kenapa sih, San? Depresi ?” dia selalu berkata begitu tiap kali aku hanya diam.
“Kok depresi,” sahutku cepat.
“Ya.. Enggak sih, dari tadi diem aja. Biasanyakan udah gangguin,” ditaruhnya ponsel di atas nakas.
“Tadi Naufal telfon marah marah,” ditegakkan posisi duduknya. “Bukan marah marah si, Ngga. Cuma kaya bingung tapi yagitu pokoknya,” jelasku sedikit bingung.
“Yagitu? Maksudnya?”
“Dia bilang nggak usah ikut campur urusan dia, Rara, sama Anya,”ujarku.
Mulutnya justru membulat seolah berkata, “Oh”. “Bener juga si, dari pada ikut disalahin kalo salah satu patah hati. Temennya kan serem semua kalo marah,” sudah kutebak apa yang ia katakan.
“Ya ngak gitu, Ngga. Kan aku Cuma berusaha buat ngebantuin mereka. Gimana caranya biar cepet selesai. Apa yang Rara ceritain bakal aku bilang ke Anya sama Naufal, dan gitu juga sebaliknya. Jadikan mereka faham apa yang sama-sama mereka mau,” jelasku.
“Selalu aja gitu,” ucapnya meirukan gaya bicaraku.
“Kenapa sih, Ngga? Depresi?” giliran aku yang mebirukannya.
“Udah.. Udah.. Gini ya San, mungkin Naufal juga udah takut buat libatin kamu di masalahnya. Dua tahun lalu, kamu juga ada masalah karena hubungan dia. Kamu nggak ada apa-apa bahkan waktu itu kamu masih sama aku, tapi akhirnya justru kamu yang kena padal waktu itu kamu cuma dengerin curhatan mereka. Aku pun kalo jadi Naufal, nggak akan mau libatin dan buat kamu terpuruk lagi. Bahkan walau pun sekarang kamu udah jadi mantan aku, apapun kamu harus baik-baik aja,” jelasnya panjang membuatku menghempuskan nafas berat.
“Terus kamu mau cerita apa?” tanyaku mengalihkan pembicaan.
“Bagus pink atau biru?” ditunjukkannya sebuah gambar jam perempuan.
“Kamu masih normal kan, Ngga?”
“Aduh.. Nggak.. Bukan gitu. Aku lihat-lihatkan di internet, terus aku lihat ini cocok buat Kyla. Dia ulang tahun hari ini. Tapi, aku bingung bagus yang pink atau biru. Menurut kamu bagus yang mana ?”
“Biru? Inikan jelas-jelas pink sama tosca,” sanggahku.
“Bentar-bentar, tapi kenapa kamu kasih ini buat Kyla? Dean gimana? Kamu tu ya, dibilangin satu aja juga,” kutimpuk tubuh kurusnya dengan bantal ruang tamu.
“Aduh..Aduh.. Berhenti.. Saaan..” dia kemudian berteriak dan berdiri cepat.
“Pertama, terserah kamu itu warna apa, menurutku itu biru. Kedua, itu buat Kyla karena Dean emang yang ngejar aku, bukan aku yang ngejar dia. Jadi nggak salahkan kalo semisal aku lebih pilih Kyla?”
“Ngga, tapikan Dean berharap banget sama kamu”
“San, aku nggak pernah minta dia suka sama aku. Saat diposisi sama kamu pun banyak yang suka bahkan ngejar aku. Tapi aku pilih kamu, karena kamu satu-satunya yang diem walaupun aku ganteng,” kutimpuk sekali lagi wajahnya dengan bantal.
“Oke, jadi kita balik ke topik. Bagus pink atau toska?”
“Aku suka pink, tapi tosca lebih lucu. Tapi kalo buat Kyla aku saranin warna pink,” jawabku sembari memperhatikan katalog itu dengan saksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
After
Teen FictionBukan hal yang mudah saat kamu harus menguatkan hati untuk tetap menjaga hubungan baik dengan alumni. Bukan tentang ingin kembali dan reuni. Tapi tentang bagaimana orang lain menganggapmu tak bisa pergi, menganggu, dan terus membututi. Bahkan hati y...