SATU

149 9 1
                                    

PLAK!

"Ampun mas, ampun" seorang perempuan berkepala empat meringis kesakitan sambil berurai air mata setelah berkali-kali dipukuli oleh suaminya. Sang suami tidak memberi ampun, ia sedang naik pitam, seluruh emosinya ia pelampiaskan kepada perempuan yang selama ini selalu berada di sampingnya baik dalam suka maupun duka.

"SUDAH BERAPA KALI SAYA BILANG JANGAN KELUAR TANPA IZIN SAYA!" bentaknya membuat seisi rumah mampu mendengar.

Sementara di lantai dua, seorang laki-laki remaja sedang meringkuk di sudut kamarnya, ia menahan amarah, menahan kesakitan, menahan dendam yang selama ini dipendamnya. Untuk yang keseribu kalinya ia harus rela melihat ibunya disiksa tanpa ampun oleh ayah kandungnya sendiri. Namun Archen hanyalah Archen, ia hanya seorang remaja berusia lima belas tahun yang tidak bisa berbuat banyak, semakin ia berbuat lebih semakin ibunya menderita. Tapi hari itu, dia benar-benar tidak sanggup lagi menahan, dibuatnya tekadnya bulat-bulat untuk melawan sang ayah. Ia turun ke lantai dasar.

Sang ayah saat itu sedang memegang tongkat golf yang Archen tahu untuk apa fungsinya. Archen mengepalkan kedua tangannya, benar saja ayahnya tanpa ragu melayangkan pukulan bertubi-tubi kepada sang ibu menggunakan tongkat golf tersebut.

"JANGAN SIKSA IBU TERUS!" teriak Archen.

"DIAM KAMU ANAK KECIL!" bentak ayahnya.

Seolah tidak memperdulikan ucapan sang ayah, Archen menghampiri ibunya, membantunya untuk berdiri. Ibunya tahu resiko apa yang akan terjadi apabila Archen ikut campur, ia menggelengkan kepalanya sambil mencoba tersenyum, seolah memberi kode bahwa perempuan itu baik-baik saja dan Archen tidak perlu ikut campur. Namun Archen tidak bisa tidak ikut campur apabila seluruh wajah ibunya dipenuhi lebam seperti itu.

"Mau apa kamu anak kecil?!" tanya ayahnya dengan nada tinggi.

"Saya bukan anak kecil!" ditatapnya kedua mata ayahnya, ia menatapnya penuh dendam.

"Udah nak udah" ibunya mencoba merelai pertengkaran antara putra kesayangan dan sang suami.

Archen tidak mau menghiraukan.

"Jangan kurang ajar kamu, biaya hidupmu saja masih saya tanggung!"

Seorang remaja mana yang emosinya tidak tersulut mendengar perkataan seperti itu keluar dari mulut ayah kandungnya sendiri. Saat itu yang ada dipikiran Archen hanya ia harus menyelamatkan ibunya.

"Oke kalau gitu saya dan ibu akan pergi dari sini, kita gak butuh uang haram dari anda!" tegas Archen.

"ARCHEN, JANGAN KURANG AJAR KAMU SAMA AYAHMU!" bentakan itu keluar dari mulut ibunya yang saat itu sudah berdiri lunglai di belakangnya.

"Kita gak bisa hidup kaya gini terus bu, Archen gak mau ibu terus-terusan disiksa sama iblis macem dia!" jari telunjuk Archen dengan tegas berada di depan kedua mata sang ayah.

PLAK!

Perempuan itu menampar putra sematawayangnya. Untuk yang pertama kalinya.

Archen yang saat itu tidak mengerti alasan mengapa sang ibu menamparnya langsung naik pitam. Ia merasa kesal dengan ibunya karena masih saja membela laki-laki yang selama ini menyakitinya.

"Oke, kalau ibu gak mau pergi biar Archen aja yang pergi. Archen udah gak sanggup ada di sini, Archen udah gak sanggup jadi anak kalian berdua!" emosinya memuncak. Untuk yang terakhir kali ia menatap kedua mata ayahnya penuh dendam, dendam yang entah kapan akan ia balaskan.

Ia meninggalkan kediaman Teriyanto, seorang politikus terkenal yang menjabat sebagai ketua salah satu partai besar di Indonesia.

Teriyanto, lelaki yang delapan tahun lalu masih sangat dicintai oleh Archen dan ibunya, tidak, mungkin sampai sekarang sang ibu masih mencintai lelaki itu, tapi tidak dengan Archen, anak itu sungguh-sungguh membenci ayahnya.

Sudut RuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang