Jam Dinding Kepala Tikus

773 16 2
                                    

Pena ku asyik menari diatas kertas putih. Jam dinding yang berbentuk kepala tikus dengan mulut ternganga penuh angka itu sudah menunjukkan pukul 4.35. Itu artinya sekarang masih pukul 4.25. Jam di rumahku memang dipercepat 10 menit, biar disiplin kata bapak. Aku tak tahu hakikat disiplin yang dibicarakan bapak. Bahkan belum ada satupun yang terjaga di rumah ini –kecuali aku. Mamak masih nyenyak berpeluk selimut. Adik perempuanku, Randa, masih asyik bercengkerama dengan gulingnya. Kucing belang jingga-putih ku, masih terlarut dalam mimpi indah ‘ala kucing’. Jangan tanyakan soal bapak. Bapak memang tidak akan bangun lagi sampai hari kiamat. Sudah mendapat gelar almarhum sejak 5 tahun yang lalu.

Langit Duri masih gelap diintip dari ventilasi jendela. Sesekali senyap ditingkahi suara jangkrik dari luar, sesekali sepi dibelah suara mengebrum truk, mobil, dan motor yang melintas di jalan besar sana –terdengar samar-samar dari sini, sesekali hening diretakkan suara SREK.. SREK.. suara gesek menulis. Aku memang sudah akrab dengan suasana shubuh di kota ini, bersahabat dengan sejuk angin  yang lumayan menusuk tulang, ditambah lagi tadi malam hujan, hhh.. sejuk semakin menggila. Mungkin karena sekarang bulan November, musim hujan yang meraja.

Untuk kesekian kalinya gerakan jariku terhenti. Kembali kuperiksa puisiku. Aku menghela nafas panjang. Keningku mulai mengerut. Ber-ah kecewa bercampur kesal. Sudah kira-kira setengah jam aku menyusunnya, namun bait pertama pun kurasa masih rancu maknanya. Merangkai puisi tentang rindu sedikit rumit ternyata. Sebab kiasannya harus pas agar berkesan romantis. Membuat wanita tersungkur klepek-klepek. Aku kembali menghela nafas. Kesal kian bertambah.

Aku melirik sekilas tikus menganga itu. Eh? Sontak aku terkejut, beranjak dari kursi, mata melotot, mulut ikut ternganga. Astaghfirullah. Pukul 4.43? adzan 2 menit lagi. Nafasku mulai memburu, gerakanku berpacu, kamar terasa jadi sempit. Tak menyisakan waktu, bergegas aku meraih jubah putih dan peci hitamku di gantungan balik pintu. Bercermin sedikit, membersihkan kotoran di sela-sela mata, tersenyum. Baiklah, aku tak sempat mandi shubuh ini. Biasanya aku mandi 15 menit sebelum adzan. Terlalu jauh berkencan bersama puisi ini membuatku lupa jalan ke kamar mandi. Sekali lagi melirik jam dinding. Adzan 1 menit lagi. Baiklah, aku masih punya waktu. Bergegas keluar rumah, lekas berlari membelah gelap, berpacu dengan waktu. 1 menit bukan waktu yang banyak.

Di musholla, sendirian.

Nafasku tersengal capek, wajah letih. Untungnya aku sudah menyapu musholla usai sholat isya kemarin, jadi sekarang aku tidak perlu repot-repot, cukup menekan tombol on menghidupkan lampu.

Aku gesit meraih mic setelah berwudhu, meski nafas masih sedikit tersengal. Baiklah, tak perlu menunggu lama, 1 menit sudah tertelan, saatnya menggemakan adzan. Aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas panjang, gagah melepas suara.

Namaku Tariq Amanda, usia 17 tahun. Aku bukanlah gharim, petugas, atau apapun namanya di musholla ini. Tak pula dibayar, digaji. Aku hanya satu dari sekian banyak masyarakat disini.

Orang-orang disini isinya adalah orang-orang yang cuek masalah agama. Cuek peduli musholla, cuek memenuhi panggilan adzan, pun cuek membuat pengajian. Dibuka hanya satu bulan dalam setahun, Bulan Ramadhan. Itupun pengurusnya dari luar. Itupun jamaah shalat tarawih tak cukup ramai. Semakin Ramadhan hendak berakhir, semakin hilang pula jamaah disini. Entah apa sebabnya. Main batu domino di kedai Buk Minah lancar pun kulihat. Haruskah banjir bandang Nabi Nuh terulang kembali disini?

Tak ada tanda-tanda kehidupan di musholla ini. Sepi tanpa penghuni, sepi tanpa siapapun yang peduli –sebelum aku mendapat cahaya hidayah dari Allah, menyulapnya menjadi semangat hijrah. Aku ingat sekali masa pertama aku mulai membuka musholla ini. Lantai dan sajadah penuh debu. Tiap sudut dinding sarat sarang laba-laba. Air bak berhuni jentik-jentik. Nyamuk berserak berdenging-denging di telinga. Bahkan ada bangkai katak dan tikus memfosil bersama debu dimana-mana. Menilik lantai yang berlumut, aku tebak mereka mati karena terpeleset. Si katak kambuh mag-nya, si tikus terserang geger otak, apalagi telat mendapat pertolongan medis. Sungguh tragis –walau lebih tragis lagi nasib musholla ini.

PUISI RINDU (Izinkan Aku Mencintaimu seperti Sayyidina Ali)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang