Tawa Bahagia

316 2 0
                                    

Tahukah kalian hal yang lebih menyakitkan daripada dikata-i gemukan? Dikacangi teman.

"Apa yang kalian ketawakan sebenarnya ni?" suaraku meninggi, geram semakin mendidih di ubun-ubun, gemas meremas jari. Betapa tidak, ini sudah untuk ke seratus kali aku bertanya, dan mereka hanya ha-ha-ha tak menjawab. Menjengkelkan.

Sejak awal aku datang ke sekolah, ku perhatikan dari jauh, mereka sedang mengobrol sambil tertawa, duduk di taman bawah pohon, depan kelas. Aku mampir, menyapa, tak ada balasan yang membuatku terbang tersanjung merasa dihormati. Hanya ha-ha-ha.. hi-hi-hi.. Entah apa yang mereka lucu kan. Ya Allah, bolehkan aku menjitak mereka satu persatu? Aku kesal.
Mereka menertawakanku? Tidak mungkin ada yang aneh di wajahku. Aku wanita anti lipstik, bedak, apalagi 'pipi berwarna'. Oke, memastikan, aku bercermin dengan kamera depan hp, aman-aman aja. Aneh. Tebakan ku dulu sepertinya benar. Mereka makhluk planet lain.

Pagi yang cerah, langit biru sedikit berawan, sinar sang surya menyiram lembut, belaian angin mesra, rusak karena gigi mereka.

"Sekretaris, apa kabar proposal?". Aku beralih perhatian, malas melihat mereka. Mengobrol dengan Witri lebih mengasikkan, orang yang sedari tadi paling kalem, cool, cukup melempar senyum. Yang aneh mereka bertiga. Dila, Sela, Kokom. Trio kunti.

Perlu kukisahkan betapa aku tersiksa disini? Baiklah. Dila, tidak perlu kuceritakan lagi. Sela, mulut paling berduri, kalah duri bunga mawar. Jika sudah 'duet maut' menghina orang dengan Dila, dijamin ngakak, tak ada lawan. Kokom, wanita bersuara berat, suara tawa sama menyebalkan, bahkan lebih. Kokom sebenarnya pendiam. Tapi kalau sudah jadi trio, dia tukang ketawanya. Mulut terbuka selebar-lebarnya, sampai koyak. Kita yang risau lihatnya.

Menjelang bel masuk berbunyi, berkumpul disini sudah menjadi tradisi kami berlima. Jajaran wanita aneh berhijrah -termasuk aku. Obrolan tidak pernah penting. Kami bahkan pernah membuat lelucon tentang kentang goreng. Entah apa salah si kentang.

"Udah aman, Ki. Tinggal rincian anggaran. Belum dikasih Kokom". Witri lebih mirip mengadu sebenarnya.

"Wei, mulut kudanil!" teriakku, muka malas. "Anggaran!". Kokom menoleh, mencoba mengendalikan diri, menarik nafas panjang, perlahan berhenti terkikik. Dila dan Sela ikut mengendalikan diri. Tahu letih kalian.

"Dah, serius lagi" seru Kokom. Emangnya dari tadi aku ngapain? Salto-salto? "Anggaran pemasukan, aman. Anggaran pengeluaran kesekretariatan, clear. Tinggal pengeluaran konsumsi. Nanti kita minta rinciannya sama Tiwi. Dia co. panitia konsumsi kan?"

"Bukan... Dia panitia acara, Kom. Karin yang konsumsi" seru ku, mengingat-ngingat. Witri mengangguk mengiyakan. Dila dan Sela sibuk mengobrol entah apa, sesekali cekikikan.

Perhatianku teralihkan sejenak. Sosok itu tiba. Wanita berjilbab tipis, berwajah acuh tak acuh, tatapan kosong itu hendak masuk kelas. Mataku mengikuti langkahnya dari jauh, hilang di bingkai pintu. Dila memperhatikan, lantas menyikutku, memasang wajah kesal.

"Jangan terlalu dipandang, nanti nangis lagi". Dila sudah mengerti. Aku tersenyum tipis.

Hal mustahil memaksa seluruh dunia tersenyum kepada kita. Bahkan niat paling mulia sekalipun, pasti tetap ada yang menatap sinis. Tugas kita hanya menjadi senyum itu sendiri.

Wanita itu adalah Alinka, sahabat lamaku -sebelum hijrah. Wanita yang menganggap aku entah sebagai sahabat atau musuh. Dulu begitu dekat bagai ibu-anak, sekarang jauh bagai bumi-bulan. Aku tak begitu yakin ia menjauhiku karena jalan hijrah yang kupilih. Namun realita, sejak aku membungkus diriku dengan jilbab syar'i, sejak itu pula Alinka melepas pelukannya.

Aku ini mati bagi Alinka. Beralih mata jika ku sapa. Bisu seribu bahasa jika ku tanya. Bahkan berputar haluan jika melihatku dari jauh. Sekarang Alinka lebih terang-terangan lagi, entah jijik atau apa, selalu menghindar jika kami berpapasan. Sikapnya membuatku menangis setiap malam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUISI RINDU (Izinkan Aku Mencintaimu seperti Sayyidina Ali)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang