Sorot mata tajam. Mengumpulkan konsentrasi, terpusat pada lingkaran paling kecil bantalan target di depan. Posisi memanah. Badan menyamping ke kanan, kaki terbuka selebar bahu, tangan kiri mengacung lurus ke arah target, mantap memegangi agak ke bawah dari tengah busur, menyangga anak panah dengan telunjuk yang terlipat. Siku tangan kanan menekuk, terangkat sejajar bahu, tiga jari mantap menarik tali busur. Ujung belakang anak panah di antara jari telunjuk dan jari tengah, jari manis ikut menarik tali. Nafasku tertahan, berusaha mempertahankan posisi. Oke, fokus.. fokus.. fokus..
SLUKK!! Aku melepaskan anak panah. Tepat bertancap di lingkaran nomor 8. YEAY! Aku tersenyum penuh kemenangan. Mantap! Udah ada peningkatan. Minggu kemaren malah banyak melesetnya.
Lesatan anak panahku disambut sorak-sorai penonton setia. Mereka bertepuk tangan, berseru-seru, mengheboh setelah nafas mereka ikut tertahan, dengan wajah pias bercampur tegang di detik-detik terakhir anak panah melesat. Anin, Kucil, dan Nela. Tiga perempuan kecil yang bahkan masih berumur 4 tahun ini selalu tertarik menyaksikan aku latihan memanah di halaman rumah setiap Sabtu sore.
"Kak Saki hebat!" seru Nela, menambah laju tepuk tangannya. Kucil mengangguk setuju, ikut menyeragamkan bunyi tepuk tangannya. Kakak beradik ini memang selalu kompak.
"Ndeh.. pengenlah jadi Kak Saki" seru Anin sambil berdiri, berwajah mantap menirukan gayaku memanah, dengan gaya menggemaskan versi dia.
"Ha? Jadi Kak Saki? Muka kau lihat dulu, Nin. Mengangkat anak panah aja kau terkencing-kencing" ejek Kucil menatap Anin dengan wajah geli.
"Mana ada!". Menunjukkan wajah tidak senang, mendekat melawan tatap Kucil. Nela terbahak-bahak menunjuk muka Anin. Aku hanya tertawa sambil menggeleng melihat mereka bertingkah. Hobi sekali bertengkar.
"SAKIIII!!". Kami berempat reflek menoleh ke arah datangnya suara itu, dari ujung pembelokan jalan. Aku sedikit menyipitkan mata. Agak silau memang, orang itu turun dari motor -diantar ayahnya, datang dari arah matahari menempel saat ini, kira kira 30 derajat sebelum ia benar-benar tenggelam. Ia hanya tampak seperti bayangan hitam berjalan.
Aku sudah kenal betul suara ini. Suara paling menjengkelkan, cempreng melengking, bikin sakit telinga.
"JADI?"
"Perlu berteriak, Dil?" tanyaku kesal. Tawa kuntilanaknya semakin bising. Tanpa basa-basi, ia meraih busur panahku setelah 3 detik melihatnya tergeletak di atas meja bersama 2 anak panah.
"Ayolah Saki ku.. apakah suaraku terdengar seperti terompet sangkakala bagimu? Kau bahkan masih bisa bernafas, hidup, duduk bersama tiga bocah menggemaskan ini". Dila mencubit pipi Anin. Mereka hanya diam, menatap aneh -ini pertama kali Dila ke rumahku. "Lagipula, aku sudah tak sabar menarik busur, melesatkan anak panah tepat di lingkaran paling kecil, paling tengah, tak akan meleset walau sebenang" ucap Dila sambil bergaya layaknya atlet panah sungguhan. Kami berempat hanya diam memperhatikannya bersombong diri. Dila memang sahabatku yang paling aneh sejagad.
"Kau serius mau bertanding, Dil? Aku sarankan kau segera membatalkan keputusan nekatmu itu. Aku tak mau mengurusi bayi tua menangis nanti". Aku lekas menyambar busur panah dari tangan Dila yang masih bergaya sok atlet, memetik-metik tali busur, tersenyum menantang.
"Apa yang perlu kutakutkan? Aku yang mengajarkan kau memanah. Hey, kau jangan jadi kacang lupa kulit". Dila tertawa mengejek, "Kau yang akan menerima hukuman atas kekalahanmu, melayaniku dalam waktu 3 hari, sesuai kesepakatan". Aku hanya memperhatikannya dengan wajah sombong, masih memetik-metik tali busur, melirik anak-anak, mereka saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Haha... apa kau tak percaya aku bisa menembak anak panah tepat di tengah? Kau kira ceritaku ini khayalan belaka? Atau begini saja, besok kita libur kan? Aku tantang kau bertanding memanah denganku! Yang kalah, harus sudi penuh ikhlas melayani pemenang" tantang Dila nada mengejek, berwajah menyebalkan. "Besok aku ke rumahmu". Aku mengangguk mantap, wajah balas menantang. Ide gila ini lah yang mengundang kuntilanak ini datang ke rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI RINDU (Izinkan Aku Mencintaimu seperti Sayyidina Ali)
SpiritualHijrah bukanlah hal murah. Dakwah bukanlah hal mudah. Sebaik apapun kebaikan, setulus apapun senyuman, tetap akan ada yang menatap sinis. Tariq Amanda, lelaki puitis super bijak bersama dua sahabatnya, Satis dan Ratih, punya cita-cita besar di tenga...