"Iya, janji!" aku berusaha meyakinkan, memaksa senyum, geram tertahan."Udah tiga hari Lana minta Ariq buatkan, gak juga siap-siap" keluh Lana, bibir bawahnya me-manyun. Aku mengusap wajah untuk kesekian kali, sedikit mendengus.
Aduh, aku menyesal harus berurusan dengan makhluk berbehel ini. Makhluk yang hobi berlaku mentel bak sepasang pengantin di malam pertama, padahal jangankan suka, bertemu dia aja menyesal seumur hidup. Aku sedikit maklum. Manusia punya karakter masing-masing, kan?
Sialnya lagi, dari sekian banyak siswa berlalu-lalang di lorong kelas ini, naik-turun tangga, kenapa harus berpapasan dengan dia? Kenapa harus alien ini?
Lana bukan hanya merusak pagiku. Tapi juga jam istirahat dan selera makanku. Semua ludes, lenyap.
"Jadi, Ariq mau buatkan puisi tentang rindu untuk Lana? Janji?". Mata Lana berbinar penuh harap. Apakah mengangguk berarti berjanji? Aku hanya meng-iyakan. Aku tak biasa membuat puisi tentang cinta-cinta. Geli. Tapi demi takut mengecewakan harap-nya, aku iya kan aja. Dan hebatnya lagi, apakah kalian bisa tebak Lana tahu aku hobi buat puisi dari siapa? Iya, benar.
"Haha... iya, Riq". Satis tertawa lebar tak berdosa. "Dia nanya siapa yang pandai buat puisi. Untuk teman katanya. Langsung aku bilang kau hebat. Rajanya menciptakan kiasan romantis, juara satu tingkat provinsi lomba cipta puisi, pernah masuk TV karena puisimu setara dengan Chairil Anwar".
Itu penjelasan Satis tiga hari yang lalu. Sejak ungkapan Satis yang lebay penuh fitnah dan jelas sekali dibuat-buat, aku harus berurusan dengan alien pecicilan itu. Setiap hari mendengar celoteh, air ludah memancrut, menghadapi mata penuh harap dan senyum manja. Bahkan mendengar panggilannya padaku, "Ariq". Ya Allah izinkan aku muntah. Aku akan membunuhmu Satis. Kau harus membayar mahal karena telah menjebakku ke neraka.
"Kan udah aku bilang, agak susah buatnya. Tadi shubuh udah kucoba, tapi masih belum bagus, wahai gadis bermata lentik, pui..."
"BULU MATA" cepat Lana ketus memotong, melotot. Aku nyengir -untuk kesekian kalinya aku salah bilang. Lagipula apa bedanya?
"Itu maksudku". Aku malas berdebat. "Aku ndak biasa buat puisi genre ini, Lan. Apalagi puisi ini akan spesial sekali. Butuh waktu lebih".
"Ta-tapi kata Satis, Ariq rajanya menciptakan kiasan romantis. Pernah pula juara tingkat..."
"Satis itu gila, Lan. Lain waktu jangan bertanya sama dia. Kalau bisa jangan ketemu".
Wajah Lana sedikit cemberut. Mungkin kesal. Aku tersenyum paksa mencoba meyakinkan. Setelah satu-dua penjelasan lagi, aku pamit meninggalkannya.
"Oh iya, Ariq". Langkahku terhenti di anak tangga kedua, semakin geram tertahan, menoleh. "Tadi Lana sholat dhuha, musholla kotor. Apa gak dibersihin?". Aku termangu sejenak, mengabaikan geram dan emosi. Lana benar. Sudah dua hari ini musholla sekolah model tak terurus.
"Terima kasih infonya gadis bermata lentik".
"BULU MATA!" suaranya menukik, bikin sakit telinga. Dasar alien.
Aku lanjut menaiki anak tangga, menuju kelas ku, XII IPA 4, lantai dua paling kiri -tidak jadi ke kantin. Sempurna, Lana. Kau berhasil mengacaukan pagiku.
Siswa masih ramai berlalu lalang. Sesekali aku berpapasan dengan wajah yang dikenal, tegur sapa, saling senyum. Sepanjang jalan kepalaku masih dipusingkan masalah musholla kotor
.
Aku adalah ketua umum rohis periode yang lalu. Kinerja adik-adik rohis tentu harus tetap di bawah pantauanku. Jika seperti ini ceritanya, jelas ini tanggung jawab anggota rohis -juga aku. Pun sudah beberapa hari ini Buk Yana mengeluh masalah rohis, setiap bertemu. Huft.. Entah masalah apa yang sedang menguji mereka. Kinerja mereka menurun, tampak kurang aktif di mataku. Semoga aja prasangka ku ini keliru.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI RINDU (Izinkan Aku Mencintaimu seperti Sayyidina Ali)
SpiritualHijrah bukanlah hal murah. Dakwah bukanlah hal mudah. Sebaik apapun kebaikan, setulus apapun senyuman, tetap akan ada yang menatap sinis. Tariq Amanda, lelaki puitis super bijak bersama dua sahabatnya, Satis dan Ratih, punya cita-cita besar di tenga...