Pra-MPLS

92 12 20
                                    

Saat itu hari Sabtu, nampak banyak anak yang berseragam biru putih dengan berbagai atribut SMP yang berbeda-beda yang datang ke SMA, untuk mengikuti acara Pra-MPLS. Aku menuntun sepedaku ke parkiran sekolah. Baru saja menaruh sepeda, terdengar suara yang memanggilku, "Lang." Aku menoleh ke asal suara itu dan tampak beberapa teman SMP-ku yang telah berjanji untuk berkumpul di depan Ruang Guru. Aku langsung mengahampiri mereka dan tak lama kemudian acara itu dimulai.

Acara dimulai pukul 07.00 WIB, dimulai dengan sambutan Kepala Sekolah, dilanjutkan oleh sambutan-sambutan lain. Sebagai penutup acara sebelum do'a, kakak OSIS memberikan kesempatan kepada adik-adik yang menghadiri acara itu untuk menunjukkan bakat yang dimiliki masing-masing. Untuk pertama kalinya aku melihatnya dan merasa terkagum. Ia maju ke depan dan mengenalkan namanya yaitu Lintang Lestari. Nama yang indah menurutku. Aku melihat seragamnya dan dia bukan siswi yang berasal dari SMP di sekitar Bandung.

Dia menunjukkan bakat puisinya, melantunkan sebuah puisi yang sangat menyentuh hati tanpa membawa sebuah teks. Aku tertegun mendengar suaranya yang begitu lembut bagaikan angin yang berhembus disekitar pantai. Tak sampai 5 menit, ia telah menyudahi puisinya dan kembali ke dalam barisan kelompoknya, yang telah ditentukan saat pendaftaran ulang saat itu. Dan acara pun diakhiri dengan do'a yang dibacakan oleh Wakil Ketua Osis, Kak Hanfi.

Setelah seluruh barisan telah dibubarkan, aku langsung menuju tempat parkir sepeda dan hendak mengambil sepedaku. Setelah keluar dari gerbang sekolah, aku mengayuh sepedaku dengan santai bersama dengan anak-anak yang telah menghadiri acara tersebut dan kelak akan menjadi teman-temanku. Aku mencoba menyalip beberapa anak yang bersepeda dengan santai, dan baru saja menyalip sekitar 3 anak, di depan ku telah nampak gadis yang tadi membuatku terkagum dan tepat dia adalah Lin. Maksud hati hendak menyandingi sepeda yang ia kayuh, namun aku urungkan niatku itu karena masih merasa malu.

Aku mengikutinya dengan sedikit dari kejauhan dari belakang. Dan kita berpisah jalan di persimpangan dekat sekolahku. Lin berbelok ke arah kanan dan aku lurus. Memang ada sedikit rasa kecewa, karena membuang kesempatan untuk berkenalan dengannya tadi di jalan. Namun, aku terus mengayuh sepeda dan berpikir bahwa hari esok mungkin kita akan bertemu lagi.

Baru saja melewati SMP-ku, terdengar suara sepeda yang dikayuh dengan cepat dan napas yang tersengal. Aku menoleh ke belakang dan melihat si Rusi, anak perempuan yang selalu bersamaku di SMP dan setiap siswa mengira kami berpacaran. Tak lama kemudian, sepeda kami telah sejajar dan Rusi memulai percakapan.

"Hay, Lang."  Sapaan Rusi dengan napas yang tersengal.

"Hay juga, Rus." Aku menjawab dan nampak bingung.

"Apakah dari tadi kau tidak mendengar teriakan gua di depan gerbang?"  tanya Rusi dengan memasang wajah sebal.

"Hehehe, maaf. Mungkin aku banyak melamun tadi ,"  jawabku merasa bersalah.

"Kau  gak salah, kok. Telingamu aja yang lagi bermasalah," Rusi mengayuh sepedanya lebih kencang dan aku pun mengejar karena dia baru saja mengejekku.

Aksi kejar-kejaran terjadi sekitar 3 menit, bak polisi yang mengejar buronan kriminal. Akhirnya, Rusi meminggirkan sepedanya dan mengaku lelah.

"Aku lelah, iya sudah aku menyerah. Kita beli es di depan yuk! Anggap saja tanda perdamaian kita. Wkwkwk." Rusi tertawa dan mengajakku membeli es.

Setelah membeli es, kami kembali mengayuh sambil meminum es.

"Oy, Lang. Tadi gua liat cowok ganteng banget, kelas XI keliatannya. Dia tadi melemparkan bola basket dari Three Point, dan masuk Lang. Cewek-cewek histeris berteriak."
Rusi mulai mengambil topik sesuka hatinya.

"Oh gitu, terus kamu mau deketin kakak kelas itu?" Aku mulai bertanya.

"Ya enggaklah, gua tuh meskipun terkenal dekatin anak orang, gua tetap setia sama pilihan gue tetap satu dari dulu. Jangan tanya siapa!"

"Kalo lo gimana, Lang? Ada gak tadi cewek yang lo suka?"  Dia mulai merubah topik lagi. Dan aku memilih diam dan termenung, hingga Rusi mengingatkan.

"Woy, Lang. Lo mau ngantar gua? Rumah lo kelewatan tuh!"

Sontak lamunan ku terpecah dan tertawa kecil karena merasa malu.

Rumah kami memang saling bertetangga. Rumah Rusi berjarak sekitar 5 rumah dari rumahku. Dan rumah kami hanya berjarak 3,5 Km dari sekolah, melewati tanjakan dan turunan yang tidak begitu curam.

===

LOVE & DISASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang