dua

30 7 1
                                    

Beberapa jam setelah sesi konsultasiku dengan Yoongi, salah seorang junior klubku mengirimiku pesan undangan makan malam bersama anggota yang lain. Kudengar dia baru saja mendapat penghargaan atas film pendek buatannya dan memutuskan untuk menraktir teman-temannya di luar dan dalam klub. Senyuman setengah heran tersungging di bibirku begitu sadar aku telah dianggap teman dalam waktu sesingkat ini.

Walaupun waktuku luang, tadinya aku hampir menolak undangan itu kalau saja tak teringat dengan amal baik juniorku itu selama aku menyesuaikan diri di klub, Jungkook namanya. Kurasa mampir sebentar untuk sekadar mengucapkan selamat dan makan sedikit tak ada salahnya. Dengan agak berat hati aku pun menerima undangannya.




"Ah, Noona!" panggil Jungkook begitu aku menampakkan diri di ambang pintu rumah makan. Jungkook sudah memesan ruangan untuk makan malam kami agar tak mengganggu pelanggan lainnya. Teman-temannya duduk mengitari Jungkook. Kulihat gigi kelincinya ia pamerkan dari sana. Aku balik tersenyum dan mengangguk padanya.

"Selamat atas penghargaannya. You deserve it, Kook. Aku bangga."

"Thanks!" Jungkook tersipu. "Cepat duduk. Sebentar lagi makanannya datang."

Kulihat hanya tersisa satu kursi kosong di antara enam kursi lainnya. Setelah duduk, aku baru sadar siapa yang duduk di seberang meja.

"Hei," sapa Park Jimin. Aku agak terkejut saat ia memutuskan untuk menyapaku. Kukira kami hanya akan terus melirik satu sama lain sampai berbulan-bulan lamanya. Ya, aku sempat cerita pada Yoongi dalam konsultasi siang tadi soal Jimin yang sering memperhatikanku diam-diam, dan tertangkap basah beberapa kali. Kurasa dia juga menyadari hubungan bisu kami yang terikat sesuatu—semacam benang takdir. Cringey, right? Rasanya tawaku akan meledak kapan saja saat memikirkannya dalam hati.

"Hai," sahutku.

"Namaku Park Jimin, kalau kamu enggak tahu. Kita ada di klub yang sama." Jimin mengangguk samar. Senyumnya merekah, membuat setengah matanya tenggelam oleh pipi tembamnya yang kemerahan. Ah, senyuman pembunuh ini lagi. Kurasa wanita berwatak sekeras apa pun kalau disenyumi oleh Park Jimin akan luluh dalam sepersekian detik.

"Aku tahu. Kutebak kamu juga tahu namaku, kan? Aku memergokimu kemarin kalau masih ingat." Aku menyeringai.

Jimin tampak terkejut dengan kalimat pembuka perbincangan kami barusan. Ia menaikkan kedua alisnya dan mengangkat bahu seakan berkata tidak buruk. "Woah, tipe orang yang terus terang ya? Aku pria sensitif jadi tolong jangan terlalu keras padaku." Si surai pirang itu memajukan bibirnya sok sebal. "Oh Jihye, kukira aku yang memergokimu kemarin?" Kemudian ia balas menyeringai.

Seringaiku pudar, tergantikan oleh ekspresi bingung. "Pardon? Aku enggak ingat. Jelas-jelas kamu yang lebih sering curi-curi pandang."

Kulihat wajahnya berubah cerah seperti menemukan suatu bukti penting dari pernyataanku. Ia membentuk pistol dengan tangan kanannya, menunjukku dengan pistol kecil itu dan berkata, "Skakmat! Kamu bilang 'lebih sering' barusan. Artinya kamu pernah memandangiku beberapa kali, kan?"

Aku berdecak, lantas memutar bola mata. Ternyata Park Jimin cukup kekanak-kanakan bagi laki-laki seusianya. "Terserahmu lah."

Terdengar suara ketukan dari balik pintu. Setelah dua ketukan, seorang pelayan memasuki ruangan sambil membawa nampan penuh minuman. Rupanya Jungkook sudah memesankan minuman untuk kami. Teman-temannya yang sebagian tak kukenal tampak memperebutkan milkshake rasa cokelat yang tersisa, bertingkah seperti anak sekolah dasar yang saling meneriaki satu sama lain.

"Hei! Kemarin aku sudah mengalah soal pizza!"

"Kemarin, ya, kemarin!"

"Masa bodoh dengan pizzamu, Seokjin Hyung. Aku hanya hidup demi milkshake cokelat."

"Woy, aku yang bayar dan berhak minum milkshake-nya!"

"Bacot lo semua." Jimin menatap sinis mereka satu per satu. Wajahnya yang manis tampak tak sesuai dengan sikapnya saat ini. Jungkook dan empat orang lainnya terpaku sesaat sebelum akhirnya tertawa kembali dan menggoda Jimin yang mereka bilang jarang sekali marah. Aku hanya menyesap milkshake cokelatku, memerhatikan interaksi mereka diam-diam.

Tidak lama setelah itu makanan yang dipesan datang. Kami langsung menyantap hidangan yang tampak paling menggiurkan bagi kami masing-masing terlebih dahulu. Menu yang dipesan beragam—satu porsi per menu—sehingga kami berbagi setiap menu agar semuanya dapat bagian. Aku memang berniat untuk pulang lebih awal dari yang lain, tapi Jungkook memaksaku untuk tetap tinggal minum-minum sebentar.

"Ayolah, Noona. Segelas saja, oke?" Rengek juniorku itu. Wajahnya memelas, menggodaku dengan sikap manjanya. "Nanti kusuruh Jimin Hyung supaya mengantarmu pulang deh." Aku menggigit bibir bawahku, sebenarnya sama sekali tidak keberatan pulang malam sendirian. Hanya saja aku belum terbiasa bersosialisasi terlalu lama dikelilingi orang baru—apalagi minum-minum.

"Jungkookie kayaknya benar-benar suka padamu." Jimin tertawa. "Aku enggak keberatan mengantar kok."

Setelah menghela nafas tanda menyerah, kuanggukan kepalaku. Tangan kananku meraih gelas kosong lalu menyodorkannya pada Jimin. Kulihat Jimin menangkap isyaratku dan tersenyum lebar, seraya menuangkan isi botol kaca di tangannya ke dalam gelasku.

————

cinematic record  | pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang