بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِJika kaki saja disebut aurat, lalu bagaimana dengan wajah wanita yang menawan?
🍁🍁🍁
Harum semerbak makanan memasuki rongga hidung pria berkemeja putih motif garis, yang berjalan menuju ruang makan untuk sarapan. Dia bisa melihat, seorang perempuan sedang menata piring-piring dan makanan di atas meja. Gerakannya cekatan, tapi, mata kecoklatan milik pria itu sedikit menyorotkan kilat tidak suka. Dia kembali melangkah, dan duduk di salah satu kursi. Hanya ada hening yang melingkupi.
Masih memandang gadis berpakaian serba gelap itu, dia bertanya.
"Kamu tidak repot pakai pakaian begitu, apalagi kain yang nempel di wajah kamu itu. Memangnya tidak bikin gerah dan sesak napas?"
Sarkartis. Iya, memang. Tapi perempuan yang sedang mengucurkan air teko ke dalam gelas mencoba tetap rileks.
"Mengapa tidak dibuka saja? Lagi pula, tidak usah so misterius gitu, lah. Kamu cuma pembantu yang menggantikan posisi ibu kamu."
"Ini amanah Ibu saya. Jadi Tuan muda tidak berhak ikut campur tentang apa yang saya pakai. Maaf, terima kasih." Selesai melaksanakan tugas, dia memutar badan untuk kembali ke dapur, disusul suara decihan yang keluar dari mulut sang majikan muda.
"Tunggu!"
Gadis bercadar hitam itu menghentikan langkah.
"Yang makan di sini hanya aku. Tapi kenapa kamu menyiapkan tiga piring?"
"Karena untuk jaga-jaga. Jika sewaktu-waktu orang tua Tuan mau makan di sana."
"Tidak mungkin."
"Tidak ada yang tidak mungkin selagi Allah berkehendak."
Ya, bagi Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Karena dialah sang penentu takdir.
Lubna Aiza Az-Zahra. Panggil saja pembantu muda yang bekerja siang malam di rumah besar bersuasana lengang itu Aiza. Gadis kampung dari Garut, yang terpaksa pindah ke Jakarta untuk menggantikan posisi ibunya yang sekarang terbujur lemah di rumah sakit. Demi memenuhi kebutuhan hidup sekaligus biaya pengobatan, dia rela bekerja di sini meninggalkan apa pun yang ada di Garut---tempat ia tumbuh dan berkembang hingga akhirnya bertemu dengan sang calon imam.
Sebenarnya Aiza malas datang ke kota kejam ini, karena ia lebih senang tinggal di desa pasirwangi. Desa yang lahan taninya subur. Pemandangan di sana jauh lebih menenangkan, dan udara terhirup lebih segar. Gunung-gunung nampak berada di ujung mata, sawah hijau berjejer di pinggiran jalan. Apalagi di kawasan Darajat, Ma syaa Allah, pemandangannya begitu menakjubkan.
Sedangkan di tempat ini, rumah luas yang hanya dihuni para pembantu dan dua tuan rumah, Aiza merasa kesepian. Aah, tapi Aiza harus tetap bersyukur. Di mana pun tinggalnya, asalkan masih diberi napas dan kekuatan untuk berjalan. Allah masih memberikan nikmat yang kadang tidak pernah kita sadari, sampai lupa caranya untuk bersyukur. Fa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Aiza memasuki sebuah kamar luas sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam buatannya dan segelas air putih. Di sana, di ranjang itu, ada perempuan dengan kisaran umur 50 tahunan sedang terbaring di atas tempat tidur. Selain mengurus rumah, Aiza juga kebagian tugas untuk mengurus majikannya yang sedang sakit---ibu Tuan muda yang gemar sekali merendahkan kain yang selalu dipakai Aiza.
Ah laki-laki itu, sungguh menyebalkan! Dia Islam, tapi mengapa suka meremehkan setelan orang islam?
Meletakkan nampan di atas nakas, Aiza mulai menarik selimut yang setengah membungkus tubuh Eliza. Aiza membantu sang majikan yang kesadarannya ada, tapi pikiran dan daya rangsang entah pergi ke mana. Pandangannya lurus, mirip tunanetra yang tidak bisa melihat apa-apa. Tubuhnya kurus, bagai pasien terbengkalai tak terurus. Penampilannya dekil, karena jarang mengurus diri---emm, bukan jarang, tapi memang tidak pernah, semenjak sebuah insiden besar menimpanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Niqab [TERBIT]
Spiritual[TERSEDIA DI GRAMEDIA] "Ada senyum dan luka tersaput kain suci." Kain yang selama ini menutupi wajah Aiza terbuka dan secara tidak sengaja terlihat oleh laki-laki yang tidak pantas untuk melihatnya. Melahirkan dua keadaan. Antara musibah, dan anuger...