Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

1. Kapan Nikah? Eh

41.5K 2.3K 63
                                    

"Ya, lihat deh, masa kamu kalah sama anak umur tujuh belas tahun," Naya melirik ibunya yang sedang mencomot kue nastar yang ada di toples dan memperhatikan berita yang sedang tersiar di televisi dengan saksama. "Dia aja enggak mikir sekolah, kenapa kamu berat-berat mikir sekolah? Tuh kan, kamu kalah," Naya menghela napas berat. "Sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya di dapur kaya ibu gini kan percuma juga, Ya."

"Bu, kan aku udah bilang, aku sekolah tinggi bukan cuma buat karier, tapi buat anak-anakku nanti," jelas Naya sesabar mungkin, meski saat ini rasanya ia ingin meledak. "Kayak ibu yang sukses ngedidik anak-anaknya dengan baik, aku juga pengen kayak gitu, karena anak-anakku berhak memiliki ibu yang cerdas dan bisa mencerdaskan mereka."

Ratih kembali mencomot kue nastar yang ada di meja. "Kalau gitu buruan nikah, biar bisa ngedidik anak-anakmu."

"Aku juga udah bilang kan, Bu, kalau aku nikahnya setelah pascasarjanaku selesai," sahut Naya dengan nada yang mulai ketus. "Doain aja biar jodohku cepet dateng, jadi aku bisa segera nikah."

"Amin, tapi terserah kamu lah, Ya. Kamu kan udah dewasa, udah bisa ngatur diri kamu sendiri." Naya menghela napas pelan ketika ibunya menutup toples kue nastar dan beranjak pergi, membiarkan Naya dengan rasa bersalahnya dan televisi yang masih menyala.

Menikah sepertinya sudah seperti momok yang terus menghantui para remaja akhir seperti Naya begini, setelah selesai menempuh pendidikan sarjana pasti semua orang akan menanyakan pertanyaan 'kapan menikah?' ini. Rasa-rasanya seseorang yang sudah menjadi sarjana tetapi belum menikah atau belum terlihat memiliki seorang pasangan adalah hal yang paling memalukan, padahal setiap orang memiliki waktunya masing-masing.

Tuhan sudah menentukan 'waktu' setiap makhluk hidup, bukan?

Kapan waktu yang tepat untuk rumput tumbuh subur saja sudah Tuhan tentukan dengan benar, apalagi masalah kapan waktu yang tepat jodoh akan datang. Karena setiap orang memiliki zona waktu yang berbeda-beda, tidak ada yang lebih cepat atau lebih lambat, jadi rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Naya sendiri memegang teguh ucapan kakeknya yang menyatakan jika jodoh itu tidak perlu dicari karena ia akan datang sendiri entah bagaimana caranya atau kapan datangnya. Jadi, Naya pun memilih menikmati hidupnya di tengah-tengah pertanyaan 'kapan menikah?' yang sering menyengsarakannya.

Karena hidup hanya sekali, dan Naya memilih untuk menikmati apa yang ada di hadapannya, serta mengusahakan yang terbaik untuk hari-hari berikutnya.

*

Matahari begitu terik ketika Naya baru saja keluar rumah, tapi ia tetap menstarter motor matic-nya dan pergi ke warung yang terletak tidak jauh dari kompleks rumahnya. Jika bukan karena sang ibu, tidak mungkin Naya pergi siang-siang begini hanya untuk membeli tomat dan daun bawang yang ditambah seledri.

"Ibu mau masak apa, Mbak?" tanya Parmi, wanita paruh baya dengan tubuh tinggi dan gempal, tetapi memiliki senyum manis, rambut hitamnya yang sudah mulai beruban ia gelung hingga menampilkan lehernya yang kecokelatan. Meski sederhana, Naya bisa melihat keayuan istri dari Ketua RTnya ini, parasnya pun pas dengan sikapnya yang lembut.

"Mau masak sup ayam, Bude," jawab Naya. "Cuma tadi tomatnya habis," Parmi mengangguk dan segera memberikan kantong plastik yang berisi tomat, daun bawang, dan seledri yang dibeli Naya. "Ini uangnya pas ya, Bude. Makasih."

"Yo, Mbak."

Setelah mendapatkan pesanan ibunya, Naya segera pergi meninggalkan warung itu dan kembali ke rumahnya. Naya memicingkan matanya ketika melihat seseorang yang baru saja keluar dari salah satu rumah yang ada di ujung kompleks, sepertinya Naya kenal dengan orang itu, tapi ia ragu dan memilih segera memarkirkan motornya di garasi sebelum masuk rumah.

"Bu, Zafran pulang ya?" tanya Naya setelah masuk rumah dan menemui ibunya yang sedang sibuk di dapur, Naya pun bergegas mencuci tiga buah kentang yang baru saja dikupas ibunya.

"Kata Bu Fida sih pulang, Ya," jawab Ratih seadanya. "Kan udah wisuda doktoral minggu lalu, mungkin sekarang udah tinggal di Indonesia lagi," Naya hanya membeo sambil memotong dadu kentang-kentangnya. "Anak pinter kaya dia, pasti jodohnya pinter juga," gumam Ratih. "Eh, tapi belum tentu juga sih, jodoh kan saling melengkapi. Kamu bisa tuh daftar jadi istrinya dia, masih ada harapan lah."

Naya mendengus. "Lulusan ITB, pascasarjana sama doktoralnya di Harvard, Bu, cucu konglomerat lagi. Nggak usah ngimpi."

"Iya juga sih, yang realistis aja," sahut Ratih yang kini sibuk dengan kuah supnya. "Tapi kalau jodoh enggak ke mana kok, Ya. Yah ... semoga aja kamu dapet jodoh yang mapan, yang bertanggung jawab, sayang sama kamu, dan yang paling penting semoga jodohmu cepet dateng ya, Ya."

Naya memutar mata jengah, kenapa juga sang ibu membicarakan masalah jodoh setiap saat, setiap waktu? Memangnya tidak bosan? Naya yang mendengar saja sudah sangat muak.

*

Malam ini, untuk memenuhi janji dengan teman-temannya, Naya terpaksa pergi meninggalkan 'singgasananya'. Jika tidak ingat ia dan teman-temannya sudah semakin susah bertemu, mungkin Naya akan memilih menonton drama Korea di rumah. Sayangnya harapan tinggal harapan, karena saat ini Naya sudah sampai di kafe tempat ia dan teman-temannya akan bertemu. Tapi tentu saja Naya tidak berat hati sepenuhnya, karena tidak bisa dipungkiri jika ia juga merindukan sahabat-sahabatnya.

"Gila sih, si Afif udah mau nikah aja," celetuk Suci, wanita bersurai hitam sebahu yang baru saja melihat isi timeline Instagram-nya. "Padahal dulu dia orang paling buluk seplanet sosial empat."

"Ya kalau udah ada jodohnya kenapa harus ditunda-tunda coba?" sahut Yuna yang sedari tadi sibuk mencomot roti bakar yang mereka pesan. "Dia udah kerja, udah mapan, kalau ditunda-tunda malah memperpanjang urusan perzinaan."

"Nggak usah sedih gitu lah ngomongnya, Yun, masih banyak kok ikan di laut." ledek Galih, satu-satunya laki-laki yang ada di geng Naya.

Yuna mendengus. "Nggak usah resek deh," omel Yuna kesal. "Lagian kamu itu harusnya sadar diri, nggak inget bulan lalu galau ditinggal Adel nikah."

"Apaan sih, orang aku biasa aja." sungut Galih yang tidak mau dicemooh karena drama ditinggal menikah dengan mantan gebetannya beberapa minggu lalu.

"Nggak kerasa satu per satu temen kita udah pada nikah," keluh Suci lesu, ia menopang kepalanya dengan tangan. "Nah kita masih struggling. Yaya dengan urusan kriterianya, Galih yang masih grogi deket sama cewek, aku yang udah maksimal dandan tapi tetep nggak dilirik, dan Yuyun yang masih asyik kerja," Suci menghela napas berat. "Aku jadi kepikiran, kita ini sebenarnya bakal nikah nggak sih?"

"Ya bakal nikah lah, Cay," sahut Naya. "Kecuali kalau emang kamu enggak ada niat buat nikah," Suci mendengus. "Jodoh bakal dateng sendiri dan enggak bakal ke mana kok."

Suasana kemudian hening setelah Naya berucap, empat orang itu sama-sama merenungi nasib mereka. Usia mereka memang belum ada yang mencapai dua puluh lima tahun, Suci yang paling tua bahkan baru saja menginjak usia dua puluh tiga tahun, tapi teman-teman mereka yang satu per satu sudah mulai menikah benar-benar membuat mereka frustrasi. Terlebih mereka berempat tidak pernah terlihat membawa pasangan mereka, pergi ke acara pernikahan teman mereka pun, mereka selalu bersama.

Andai saja stigma masyarakat Indonesia yang memandang jika pernikahan adalah sebuah pilihan, sama seperti yang orang-orang barat pikirkan, mungkin mereka berempat tidak akan memiliki keresahan mereka seperti ini. Atau bahkan tidak memiliki tekanan yang luar biasa dari lingkungan sekitar mereka.

Jika orang-orang berpikir masuk Universitas Harvard itu susah, maka Naya, Suci, Galih, dan Yuna sepakat jika masuk ke dalam universitas rumah tangga adalah yang paling susah.

Oh, My SugarmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang