Satu

6 3 0
                                    

Gemericik air turun membasahi dinding batu yang atapnya sengaja tidak dipasang. Nuansa alami musim hujan dapat dirasakan secara langsung oleh seorang gadis yang terduduk asyik menonton televisi di dalam kamar ibunya sambil menyantap semangkuk bubur ayam. Gigiya sedang sensitif, jadi ia enggan memakan makanan lainnya.

"Pintunya tutup dong Nilam, nanti masuk angin giginya tambah sakit." Seorang wanita paruh baya turun dari tangga besi yang letaknya tepat di depan kamar. Pelan-pelan wanita itu melangkah, tangannya berpegangan pada lengan besi tangga takut-takut terjatuh karena anak tangga yang sedikit basah kena cipratan air hujan dari dinding batu.

"Ibu ngapain? Kok dari atas? Jangan bolak-balik nanti jatoh." Nilam berhenti menyuapkan buburnya ke dalam mulut menyadari ibunya yang masih mencoba menuruni anak tangga tanpa menutup pintu sesuai perintah barusan.

"Ngambil baju Bu Gita. Nanti malem mau pada pergi."

"Oh... Kenapa gak minta Nilam aja yang ambilin sih? Kalo ibu kepeleset gimana?" Nilam cemberut. Masalahnya bulan lalu juga ibunya terjatuh dari tangga padahal tidak sedang hujan.

Ibu Nilam adalah seorang asisten rumah tangga. Rumah majikannya ini sangat besar dan memiliki dua kamar asisten di dekat dapur. Yang satunya ditempati ibunya Nilam dan Mbak Dyah karena memiliki sebuah kasur tingkat, dan satu kamar lainnya ditempati Nilam kalau mau menginap.

Perempuan paruh baya itu balik tak menggubris ucapan Nilam. Ibu Nilam malah langsung pergi ke kamar majikannya untuk mengantar baju.

Pandangan Nilam kembali pada televisi yang sedang menyiarkan Drama Korea kesukaan Nilam. Kira-kira sih sudah sejak dua bulan lalu Nilam suka dengan hal-hal berbau Korea. Padahal awalnya boro-boro mau nonton, mungkin ia malah menganggap Korea itu tidak pernah ada.

Beberapa menit berlalu, bubur di mangkok Nilam sudah hampir habis dan ibunya pun sudah selesai mengantarkan baju kepada majikannya.

"Mau pulang ke kost jam berapa? Besok ngampus kan?" tanya ibunya sambil mengepel ambang pintu yang sedikit basah terciprat air hujan.

"Sebentar lagi bu, tanggung. Belum terlalu malem juga." Nilam bangkit menenteng mangkuk yang isinya sudah dihabiskan.

"Terus kapan kamu mau ke rumah Bara?"

"Besok-besok aja, Nilam capek," jawab Nilam sambil mencuci mangkuk bekasnya. Suara hujan dan keran air yang beradu membuat Nilam harus berbicara agak keras supaya ibunya bisa mendengar.

Ibu Nilam berdecak pelan. Lalu ia berkata, "Kamu ini dari lebaran belum ke sana loh, ini udah bulan apa? Bulan depan kan kamu berangkat ke Cina, masa gak ketemuan sama sekali sama Bara?"

Nilam memberengut sebal. Bara lagi Bara lagi yang dibahas. Padahal tujuan Nilam mengambil beasiswa kuliah ke Cina juga untuk menghindari ketemuan dengan si Bara Bara itu.

"Yaudah lah bu, kalo gak ketemu sekarang ya dua taun lagi aja ketemunya kan masih bisa."

"Ngawur! Dua taun itu lama Nilam! Nanti si Bara keburu nemu perempuan lain," ujar ibu Nilam sambil meletakkan kain pel ke dalam ember.

"Sekarang juga udah nemu perempuan lain, gimana sih ibu? Mas Bara kan udah punya pacar."

Ibu terlihat tak suka dengan pernyataan Nilam. Memang sejak dulu ibu selalu ingin Nilam berjodoh dengan Bara. Mereka berdua sudah menghabiskan masa kecil bersama dan dulu juga Nilam pernah berpacaran dengan Bara, walau pada akhirnya putus karena Bara menyukai perempuan lain.

"Orang tuanya Bara kan gak setuju kalau Bara pacaran sama si cewek itu. Nakal ceweknya," jelas ibu sibuk mencuci kain pel yang ada dalam ember tadi.

"Ah ibu kata siapa nakal? Gak boleh suuzon bu, gak baik dosa. Lagian kalo ceweknya nakal mana mau Mas Bara sama dia, orang Mas Bara kalem gitu orangnya."

"Terserah yang penting minggu ini kamu harus ke rumah Bara, pamitan dulu kalo bulan depan mau berangkat!" perintah ibu yang dijawab iya oleh Nilam. "Hubungan baik harus dijaga, nantinya juga kalian mau dinikahkan. Ibu yakin orang tuanya pasti setuju kalau Bara sama kamu," lanjut ibu.

"Ih ibu mah! Itu lagi-itu lagi omongannya. Pokoknya Nilam gak mau nikah sama Mas Bara. Nilam mau nyari suami orang Korea, gak pake enggak. Titik."

Nilam cemberut untuk kesekian kalinya. Ia berjalan cepat lalu naik ke atas lewat tangga besi tanpa mematikan televisi yang masih menyala di kamar ibunya. Ia mau langsung mengepak pakaiannya yang sudah selesai dicuci dan pulang ke kost saja daripada harus membicarakan tentang si Bara.

"Nilam pulang ah bu, ojeknya udah sampe." Tiba-tiba Nilam yang sudah rapi dengan kerudungnya itu menyalami ibunya.

"Loh? Tiba-tiba pulang?"

"Takut macet. Udah ya, assalamualaikum," pamit Nilam langsung pergi ke luar gerbang menghampiri ojek online yang ia pesan sebelumnya.

"Waalaikum salam. Hati-hati ya."

Hati Nilam sedikit panas walau deru angin malam mencoba masuk lewat celah-celah jaket tebalnya. Bukan perkara mengingat Bara yang sudah memilih perempuan lain ketimbang dirinya, tapi karena ibunya yang terus memaksa ia tetap berhubungan dengan teman masa kecilnya itu.

Seandainya saja Nilam tidak pernah terlalu dekat dengan yang namanya Bara, pasti ibunya bisa menyemangati Nilam menemukan jodoh orang Korea. Sayangnya saja Nilam dan Bara sudah terikat satu sama lain sejak kecil, sudah terlalu menjadi satu dari dulu.

Merasa masa bodoh pada akhirnya Nilam melayangkan pandangannya ke layar ponsel, membalas pesan satu persatu dari teman-temannya dari Club Taekwondo. Nilam si gadis feminim tukang berkelahi, itu sih julukan yang diberikan ibunya.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hai, gimana ceritanya? Gak jelas yah? Maafkan daku abis tiba-tiba kepikiran mau buat cerita ini. Semoga suka and happy reading.
.
.
.
Jangan lupa vote and comment yah shayyy

Ai Zhi LuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang