Empat

8 3 0
                                    

Seperti kebanyakan anak yang merantau ke luar kota, hari ini Bara pulang ke Jakarta. Mumpung weekend dan tak ada tugas berarti yang dikejar deadline.

Pukul dua siang tadi ia sampai dari perjalanan Bandung-Jakarta. Dengan wajah lusuh ia langsung tidur di kamar kesayangannya. Ibu dan ayahnya entah kemana, mungkin sedang di toko. Ketiga adik laki-lakinya juga tak ada yang diam di rumah. Bara tak mau pusing-pusing mencari, ia mau tidur.

"Loh? Kok ada Bara?" seru perempuan yang mengenakan jilbab putih panjang polosnya. "Ayah! Bara pulang yah," lanjut perempuan itu memanggil suaminya setelah menemukan motor Bara yang terparkir di halaman. Suaminya yang masih jalan jauh di belakang segera menghampiri.

"Loh? Kapan pulangnya? Kebiasaan gak bilang-bilang." Ayah Bara melepas sandal jepitnya sambil melepas gandengan adik terakhir Bara, Fahri.

Bara memang suka tiba-tiba pulang tanpa mengabari dahulu, itu sebabnya ia dipegangi kunci duplikat supaya ia tetap bisa masuk rumah sewaktu-waktu jika orang rumah sedang pergi.

"Assalamualaikum, nak! Bara!" panggil ibunya menuju kamar Bara di lantai atas. "Tidur paling ini anak," lanjutnya menjinjing daster kuningnya menaiki anak tangga diikuti Fahri.

"Bara kapan sampe?" tanya wanita itu setelah sampai di kamar Bara.

Bara menggeliat mendengar suara ibunya yang tiba-tiba sudah di kamar mengusap kepalanya. Jangan salah! Walau Bara sudah berumur 22 tahun ibunya masih suka memanjakan Bara.

"Tadi jam dua bu," jawab laki-laki itu mencoba menegakan duduknya dan mengamit tangan wanita di depannya.

Terlihat Fahri meloncat-loncat di kasur senang bahwa kakak tertuanya pulang.

"Udah makan belum?"

Bara mengangguk sambil mengusap wajahnya yang masih lusuh.

"Yaudah sholat ashar dulu nak, udah jam setengah lima!" titah ibunya yang kesulitan melepaskan tangan Fahri, karena anak kecil itu sekarang memeluk ibunya dengan kuat sampai tercekik.

"Fahri jangan gitu kasian ibu," ujar Bara mengambil tubuh Fahri yang kecil, membawanya ke dalam pangkuan.

"Aduh Bara, adek kamu ini bandelnya masya Allah! Ibu pusing deh Bara, seumur-umur ibu ngurus kamu, Helmi, sama Ghani gak pernah sesusah ini." Ibu Bara berdiri memegangi kepala berjalan keluar kamar.

Bara terkekeh pelan, lucu melihat ibunya yang mengeluh begitu. Keluarga Bara bisa dibilang keluarga yang luar biasa terkenal dengan kebaikannya. Bukan hanya karena anak-anaknya yang terkenal sholeh tapi juga kebaikan hati pasutri di dalam rumah itu yang tiada tandingannya.

Fahri itu bukanlah adik kandung Bara. Dulu, Bara punya tetangga yang hidupnya sangat susah. Dengan hati yang benar-benar bersih ibu Bara mengadopsi Fahri yang notabene adalah anak dari tetangganya itu.

Bara tadinya tiga bersaudara, laki-laki semua. Makanya keluarganya sangat menyayangi Nilam karena sangat mendambakan kehadiran anak perempuan.

Dulu waktu orang tua Bara tau kalau Bara menjalin hubungan dengan Nilam, mereka senang luar biasa. Malah suka membayangkan seperti apa pernikahan yang akan diselenggarakan nanti.

Tapi sayangnya hubungan antara Bara dan Nilam tidak awet sejak kehadiran Ambar. Ya begitulah alasan mengapa orang tua Bara tidak suka Ambar. Ambar berbeda dengan Nilam, dia suka memgajak Bara main ke luar sampai malam! Padahal kalau Nilam, habis maghrib paling mentok sudah di rumah.

Kembali lagi pada keluarga Bara yang mendambakan anak perempuan, harusnya bisa saja keluarga mereka mengadopsi anak gadis dari panti asuhan bukan? Tapi kenapa malah Fahri yang usianya baru tiga tahun? Ya alasannya karena keluarga itu baik hati dan ingin menolong saja. Padahal kalau dipikir-pikir ngapain repot-repot ngurusin anak orang? Toh Bara dan Helmi sudah kuliah, Ghani juga sudah SMK, tinggal tunggu menikmati hari tua sebentar lagi.

Bara segera melaksanakan sholat ashar seperti titah ibunya barusan. Dengan khidmad laki-laki itu bersujud di hadapan Allah. Air wudhu yang membasahi dahinya menempel pada ujung sajadah, meletakkan tanda bahwa alas ibadah itu tidak pernah Bara sia-siakan.

Selepas melaksanakan sholat, Bara pun pergi ke dapur, melihat apa yang sedang ibunya kerjakan. Atau lebih tepatnya, Bara lapar lagi.

"Bara, ajak Nilam main ke sini dong! Udah lama banget kayaknya ibu enggak ketemu dia," pinta wanita yang sedang mencuci piring itu kepada Bara yang sibuk menyendok nasi dari dalam rice cooker.

"Iya, nanti abis makan Bara tanyain ya mau apa enggak ke sini." Bara menurut.

Bisa dibilang Bara ini adalah anak yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Walau hatinya sekarang tertuju pada Ambar, ia tak pernah berani menolak permintaan ibunya untuk tetap berhubungan dengan Nilam. Masalah masa depannya nanti, Bara sedang memikirkannya. Entah tetap membujuk kedua orang tuanya menerima Ambar atau dia yang menyerah dan menikahi Nilam.

"Ih harus mau dong! Kalau dia gak mau ya dibujuk. Bilang apa kek, ibu kangen gitu." Ibunya cemberut. Bara bisa melihatnya dadi ekor matanya.

Dengan seulas senyum manis Bara menjawab, "Iya ibu, nanti Bara jemput malah."

"Bener loh!"

"Iya bener. Udah ah, Bara mau makan ya laper lagi." Bara meninggalkan ibunya dengan senyum simpul, membawa sepiring penuh nasi putih beserta ikan mas bumbu jahe kesukaannya ke ruang televisi untuk makan sembari mengobrol dengan ayahnya.

Sepasang ayah dan anak itu mengobrol seru. Ditemani sekaleng kue sisa lebaran dan kopi hitam ayah Bara bercerita bagaimana lelahnya ia dan istrinya mengurus Fahri. Lagi-lagi Bara hanya terkekeh pelan. Bagi Bara semua yang kita miliki adalah titipan Allah, ayah dan ibunya harus sabar menjalankan amanah itu.

Selesai makan, Bara langsung melakukan permintaan ibunya. Dengan cepat ia mendial nomor Nilam yang tersimpan di kontaknya.

Terdengar nada sambung dari sebrang sana, tapi sepertinya tak ada jawaban. Bara mencobanya berkali-kali sampai pada akhirnya terdengar suara dari gadis itu.

"Halo assalamualaikum Mas Bara, ada apa ya?"

"Waalaikum salam Nilam. Gak papa, Nilam apa kabar?" tanya Bara basa-basi dengan sopan.

"Alhamdulillah baik mas. Mas Bara sendiri?"

"Aku juga alhamdulillah baik." timpal Bara dengan suara beratnya. "Nilam! Nilam lagi dimana? Aku lagi di rumah nih, main dong ibu kangen katanya."

"Yah mas, Nilam lagi di Puncak. Ada acara gashuku. Pulangnya baru Hari Minggu siang," jawab Nilam samar-samar. Gadis itu bicara sedikit tidak jelas karena masih sakit gigi.

"Oh begitu, yaudah nanti kalo besok udah pulang bilang aku ya. Nanti aku jemput!"

"Hah dijemput? Yaudah deh iya." Nilam tak mau menjawab panjang lebar, daripada giginya nyut-nyutan.

Bara tersenyum puas, dia tau Nilam pasti mau main ke rumah menemani ibunya mengobrol. Dari dulu memang ibunya itu sangat suka mengobrol dengan Nilam. Asyik sekali kelihatannya. Kasihan ibunya, ingin punya anak perempuan.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ai Zhi LuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang