Satu, Dua

7 2 0
                                    

Randy

Aku sempat berpikir jika berpisah adalah keputusan terbaik.
Namun ternyata, hal itu menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku.

*

"Indah banget ya, Kak."

Deg

Entah kenapa, setiap dengar kata Indah jantung gue rasanya nyeri. Iya, gue emang cowok lemah. Nggak bisa mempertahankan, tapi nggak bisa merelakan juga.

Indah menjadi kata-kata yang selalu gue hindari akhir-akhir ini. Ya, kurang lebih dua tahun belakangan ini, deh. Setiap dengar kata Indah, jantung gue suka terasa berdenyut, nyeri, entah apa lah itu rasanya pokoknya ada reaksi tersendiri, deh.

"Indah? Apanya?" Gue mencoba untuk bertanya dengan menekankan kata-kata Indah itu.

"Wajah lo."

"Hah?"

Iya, refleks gue tercengang dengan pernyataan dari Alesya barusan. Gue nggak salah dengar, kan? Atau karena gue kebanyakan melamun mikirin kata-kata Indah barusan?

"Eh, ada nyamuk di muka lo!"

PLAK!

Anjrit!

Pipi gue di tampar sama Alesya. Ni anak mau nepuk nyamuk tapi kok nggak ngasih ancang-ancang dulu ke gue sih? Kayaknya dari tadi gue nggak ngerasa ada nyamuk. Dan lagi, sejak gue datang ke hutan ini, badan gue nggak pernah lepas dari lotion anti nyamuk.

"Kena nggak?" Sedikit meringis, gue terus mengelus pipi yang belum lama ini jadi landasan bagi tangan Alesya.

"Yah, enggak, Kak." Jawabnya kecewa sambil menunjukkan telapak tangannya yang kosong.

Udah nepuk tanpa perikemanusiaan, nggak kena, pula. Sabar ya, pipiku.

Akhirnya, gue dan Alesya sampai di sungai untuk mengambil pasokan air. Disini airnya jernih banget, bersih pula. Mungkin karena bersumber langsung dari gunung kali, ya.

Sialnya, di cuaca yang dingin dan suasana yang gelap kayak gini, panggilan alam datang secara tiba-tiba. Aduh, ada Alesya pula. Ada perasaan nggak enak gitu bilang mau buang air ke dia. Bilangnya apa, ya?

"Lo isi dulu ya. Gue mau buang air, nih."

"Kecil apa besar?" Astaga, ini cewek! Polosnya minta ampun, deh. Masa' gue harus bilang kalau perut gue udah melilit dan harus segera dibuang, gitu?

"Kecil, kok." Ah, bohong yang dianjurkan. Nggak pa-pa deh. Malu lah kalo gue bilang mau buang hajat didepan ni cewek. Apalagi, dia cuma adik kelas gue yang emang gue nggak dekat sama sekali sama dia. Bisa-bisa, nanti dia cerita ke temen-temennya kalau dia habis nungguin gue buang hajat. So embarrassing.

Beberapa menit setelah buang air, gue mulai mencari sinyal senter yang harusnya sudah Alesya buat sejak gue pergi ke balik pohon. Tapi gue sama sekali nggak melihat cahaya apa-apa disini. Kemana dia? Apa Alesya udah pergi duluan karena kelamaan nunggu gue, ya?

*

"Hai, Kak." Begitu sampai di perkemahan, gue disapa oleh beberapa adik kelas yang jadi junior gue disini. Cewek, kok. Kalo yang kayak gitu cowok sih udah gue timpuk pakai kayu bakar. Gue suka risih dipanggil "Kak" sama cowok. Mereka biasanya manggil gue "Abang", atau kalau udah akrab, tanpa embel-embel itu juga it's okay, lah. Lagian jarak usia kita juga nggak jauh.

Gue tersenyum tipis. Bukan sok cool sih, cuma agak canggung aja membalas sapaan mereka dengan senyum lebar yang malah kelihatan narsis gitu. Bukan gue banget lah.

"Kak, kita bisa buat api unggun sendiri, lho."

Gue balas dengan senyuman lagi. Really? Haruskah mereka lapor hal sesepele itu ke gue?

"Kak, kakak mau makan bareng kelompok kita nggak?" Tanpa basa-basi lengan gue digamit oleh salah seorang cewek. Dia adik kelas yang gue ingat pernah buat surat cinta waktu MOS untuk gue. Ah, kalau nggak salah namanya Risa.

"Enggak, Risa.Makasih ya. Gue udah ada jatah makan bareng temen-temen yang lain." Jawab gue sekenanya sambil melepaskan gamitan lengannya yang posesif.

"Kakak masih inget aku?" Pekiknya. Matanya berbinar menatap gue. Asli, gue kaget denger dia tiba-tiba jingkrak-jingkrak begitu. Ya jelas masih, lah. Gara-gara surat yang dia kasih, Indah jadi salah paham ke gue dan nggak ngasih kabar apapun selama berhari-hari ke gue.

"Eh... Ehm, masih." Gue meringis mendengarnya. Ya Tuhan, kuatkan telinga hamba.

"Aku seneng lho, kalo kakak masih ingat aku."

"I... Iya–"

"Nah, lo dari mana aja, Ran?" Akhirnya Kau kirimkan Rian untuk menyelamatkanku, Tuhan.

"Gue habis ambil air, Yan."

"Mana airnya?" Rian celingak-celinguk.

"Bukannya udah dibawa sama Alesya?"

"Alesya? Dia kan pergi sama lo."

Tunggu dulu...

"Iya, dia pergi sama gue."

"Nah, t'rus Alesya-nya kemana?"

"Bukannya dia udah balik duluan?"

"Hah?"

Wait. Apa maksud dari Hah-nya si Rian barusan?

"'Hah' apa?"

"Dia belum balik, Ran!"

Jadi...

"ALESYA NGGAK ADA?!" Gue panik. Pokoknya panik! Dan sudah seharusnya gue jadi orang yang paling panik disini. Pertama, gue disini sebagai pembimbing anak-anak kelas sepuluh dan sebelas untuk ngadain Persami. Kedua, kalau ada apa-apa, yang bertanggung jawab atas segalanya adalah gue. Entah itu tanggung jawab ke pihak sekolah, ataupun ke pihak orang tua dari siswa. Ketiga, gue yang ajak Alesya untuk ambil air bareng gue. Keempat, gue yang bikin Alesya nungguin gue buang hajat tadi.

Astaga.

Perkara buang hajat aja kok jadi runyam gini, sih? Gue harus segera mencari Alesya!

Accidentally, LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang