"Pembangkang. Itu satu kata yang dapat menjelaskan sifat gadis ini." Suara berat bernada tegas memecah keheningan di ruangan itu. Markas Nyata, begitu mereka menyebut ruangan itu. Mereka, adalah tiga orang laki-laki berpostur tubuh tinggi dan memiliki wajah mirip bahkan sama. Benar-benar sama sampai sulit dibedakan.
"Ceroboh. Ia pernah melewati ini sebelumnya, tetapi ia jatuh di lubang yang sama." Sahut suara kedua, suaranya tidak seberat suara pertama. Mereka bertiga berdiri memandangi layar besar yang menampilkan seorang gadis berumur enam belas tahun dengan wajah panik. Mereka bertiga hanya berdiri di depan layar dengan wajah datar, selayaknya orang yang sedang menonton pertunjukan, walaupun gadis itu tampak kebingungan dan membutuhkan bantuan. Mereka bisa membantu. Sungguh, mereka bisa saja membantu gadis itu, tetapi mereka tidak melakukannya.
"Kita sudah memberinya petunjuk," suara pertama kembali terdengar, yang diikuti anggukan orang kedua dan ketiga. "Tetapi ia tidak mengerti."
"Haruskah kita turun tangan lagi?" Tanya orang kedua.
"Mau tidak mau." Orang pertama hanya mengangkat bahu, menunggu respon dari dua orang di sampingnya.
"Biar aku yang mengurusnya." Akhirnya orang ketiga di ruangan itu menyahut, setelah mempertimbangkan sejenak. Ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak membantu gadis itu tanpa berbicara apa-apa.
"Kau yakin?" Tanya orang pertama sambil menyipitkan matanya.
"Biarkan saja. Dia jarang turun tangan ketika kita hendak menolong gadis itu, Gio. Aku rasa tidak lebih dari lima kali. Kita yang selalu turun tangan, maka sekarang sebaiknya kita bergantian. Lagipula di waktu lalu kau pernah ke tempat ini bersama gadis itu, kan?" Sahut orang kedua meyakinkan laki-laki pertama.
Gio terdiam sejenak sambil memandangi orang kedua, lalu tatapannya beralih pada orang ketiga. "Baiklah, kau yang akan pergi."
"Siap." Orang ketiga itu tersenyum singkat, lalu berbalik, berjalan ke arah pintu untuk keluar dari ruangan. Meninggalkan dua orang laki-laki yang akan menonton aksinya dari layar besar ajaib di ruangan itu. Ia membuka sebuah pintu dan masuk ke ruangan penuh tombol. Bentuknya seperti lift. Ia menekan beberapa tombol dan menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya pintu terbanting terbuka dan ia sudah sampai di tempat gadis itu berada. Sebuah rumah kosong yang berantakan. Sangat cocok untuk lokasi penculikan. Dan disanalah gadis itu, berdiri mematung memandang lurus ke arahnya dengan tatapan terkejut. Ya, ia tahu tatapan apakah itu. Gadis itu mengenalinya, tetapi mungkin gadis itu melupakan namanya.
"Hei." Akhirnya ia menyapa duluan karena gadis itu tidak mengatakan sepatah kata apapun.
"Giovander?" Tanya gadis itu ragu-ragu.
"Bukan." Ia menggeleng dengan senyuman lebar yang dipaksakan. Memang, ia seharusnya sudah biasa karena orang salah membedakannya dengan kakaknya itu, tetapi mendengarnya berulang-ulang membuatnya agak sedih.
"Oh, Hazelvard...?" Tanya gadis itu lagi, semakin ragu.
"Bukan." Ia menggeleng lagi dengan ekspresi penuh semangat yang palsu, karena ia tahu kedua kakaknya itu pasti menyaksikannya sekarang.
"Maafkan aku!" Gadis itu meremas bahunya secara tiba-tiba, dan ia hanya bisa tersenyum karena melihat tingkah gadis itu. Memang selalu seperti ini. Ia sudah lama mengawasi gadis itu, sehingga hampir semua gerak-geriknya bisa ia prediksi. "Aku benar-benar minta maaf. Jenovaldy, kan? Aku minta maaf yang sebesar-besarnya, Jeno."
"Tidak apa-apa. Santai saja."
"Oke." Gadis itu tersenyum. "Aku jarang bertemu denganmu. Atau aku lupa? Tetapi aku ingat aku sering bertemu dengan Gio ataupun Hazel. Apakah aku salah?"
YOU ARE READING
24H Adventures
FantasyNamanya Bianca Meidivia, gadis yang tidak tahu apapun mengenai masa lalunya karena ia kehilangan ingatannya. Cerita ini dimulai saat ia mengalami mimpinya, dan bertemu Lucid Strangers yang bergantian muncul di setiap mimpi-mimpinya. Ketiga Lucid Str...