3 - Aku Bisa Memanipulasi Situasi

15 1 0
                                    

Aku kembali kerumah itu-rumah yang pernah aku kunjungi dengan Giovander ketika aku mendapat tugas menjadi detektif dan menyelidiki berbagai kasus pembunuhan yang terjadi di rumah itu. Saat aku mengunjunginya bersama Giovander waktu itu, darah berceceran di seluruh lantai rumah. Kali ini, bukan darah yang berceceran, melainkan puing-puing bangunan. Karena di dalam mimpiku, sempat terjadi gempa. Dan kali ini bukan Giovander yang muncul, tetapi Jenovaldy. Sejujurnya aku tidak begitu yakin dan ingat siapa yang hadir malam ini, tetapi aku ingat terbayang akan kejadian di tebing itu-yang terjadi ketika aku bersama Jenovaldy. Dan sialnya, aku bertemu ia juga-Izalvedric. Sesaat aku tidak bisa mengenalinya karena wajahnya yang hancur. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sampai wajahnya bisa menjadi seperti itu. Ya, aku tidak mengenalinya di awal, tetapi melihatnya mengangkat tangan saat hendak mengayunkan parang kepadaku, aku teringat kejadian di tebing itu. Ketika ia juga mengangkat tangannya, menakutiku sehingga aku terjatuh dari tebing. Situasi juga sama, dengan Jenovaldy di belakangnya hanya memperhatikan. Aku tidak membencinya, tetapi kenapa ia tidak membantuku sama sekali? Hal ini membuatku kesal dan aku bertekad akan menanyakannya bila aku bertemu dengan Giovander atau Hazelvard. Tetapi sejauh ini, ketika aku menanyakan pada salah satu dari mereka, mereka mengaku tidak tahu apa-apa dan tidak memiliki saudara seperti yang kujelaskan.

Itu saja yang hendak aku ceritakan. Aku menyayangi teman-temanku di dunia mimpi itu. Dan aku berharap untuk terus bertemu dengan mereka bertiga di setiap mimpi-mimpiku. Jika mereka tidak hadir di dalam mimpiku, setidaknya biarkan aku berkomunikasi dengan mereka.

***

Rasanya ia baru tertidur beberapa menit ketika dibangunkan dengan suara ketukan di pintu. Bianca menguap, berdiri dan berjalan ke arah jendela, lalu menyipit ketika menyibak gordennya. Ia mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuh, ketika tiba-tiba sesuatu menarik perhatian matanya. Seseorang melewati jalanan di depan rumahnya. Sangat cepat, sampai ia tidak menyadari apakah itu benar-benar manusia atau bukan. Bianca memegang teralis jendela, mencondongkan tubuhnya, sampai ujung hidungnya menyentuh kaca jendela. Ia yakin ia melihat sesuatu. Hanya saja ia tidak tahu apa itu. Lagi pula, langit masih gelap, sehingga wajar jika ia tidak bisa memastikan apakah itu. "Bianca, sudah bangun?"

Setelah mendengar suara kakaknya, Bianca langsung tersadar bahwa ia harus datang lebih pagi dari biasanya. Pesan dari Mrs. Liza langsung terulang-ulang di kepalanya. "Sudah, sebentar, nanti aku keluar!" Bianca menyahut dari dalam kamar, dan langsung melupakan sesuatu yang dilihatnya tadi. Ia cepat-cepat mengambil seragam sekolahnya dan masuk ke kamar mandi. Setelah selesai, ia menyisir rambutnya yang lurus pendek sebahu dengan buru-buru, lalu mengambil tas yang sudah berisi buku-buku pelajaran di samping meja belajarnya. Ia segera keluar dan menuruni tangga, lalu duduk di meja makan. Di hadapannya sudah duduk kakaknya, Baron. Adiknya juga sudah disana dengan seragam sekolahnya. Mereka duduk dengan makanan masing-masing. Di depan Bianca sudah ada susu panas dengan roti.

Setelah memasang kaus kaki dan mengikat sepatunya Bianca memasang wajah memelas ke arah Baron. "Kak, bisa lebih cepat tidak? Aku ada tugas dan harus datang lebih pagi."

"Kamu saja belum selesai sarapan." Tatapan Baron tertuju ke ponselnya.

"Aku bisa sarapan di mobil."

Brandon, adiknya, menyahut. "Memangnya ada tugas apa sih, Kak?"

"Masalah perpustakaan." Bianca menjawab asal, sambil cepat-cepat melahap rotinya. "Ayo dong, Kak. Please."

Baron mematikan ponselnya lalu memandang Brandon, "Brandon tidak apa-apa aku antar Bianca dulu?"

"Tidak apa-apa kok." Brandon mengangguk sambil meneguk susu cokelatnya. Bianca menyipitkan matanya pada adiknya yang jarang bersikap seperti ini. Mungkin Brandon sedang memiliki permintaan yang harus dituruti Baron sehingga ia bersikap manis di depannya. Baron mengangguk lalu memberikan kode pada Bianca untuk bergerak. Bianca langsung memasukan sisa rotinya ke mulut dan meneguk susu panasnya cepat-cepat, lalu mengejar Baron yang sudah berada di garasi. Ia segera masuk ke dalam mobil dan tersenyum kikuk ke arah kakaknya yang sudah menekuk wajah. Pagi ini, suasana hati kakaknya itu memang sedang tidak bagus.

24H AdventuresWhere stories live. Discover now