2. Keputusan Terbaik

5K 429 18
                                    


"Perempuan itu nggak jelas asal-usulnya, Ma! Mama nggak mikirin gimana perasaan Satria? Dia berhak menentukan sendiri akan menikah dengan siapa." Naura meluapkan emosinya di ruang tengah. Mama sedang merajut. Terlihat sama sekali tidak terganggu dengan teriakan anak sulungnya. Satria lebih penurut dan usil, maka Naura memiliki sikap sebaliknya. Paling tidak mau diatur, pembangkang, semau sendiri dan pemarah.

Marah atas apa saja. Yang penting marah. Mengomel. Mama maklum, lima tahun ini, marahnya Naura adalah bentuk kasih sayangnya. Makanya, ketika Naura berderap ke ruang tengah, Mama sudah menebalkan kuping.

"Satria ngadu ke kamu?"

"Aku yang tanya. Tapi aku masih nggak habis pikir. Bulan depan, Ma? Ini bukan lelucon, 'kan? Aku memang mau ulang tahun, tapi aku nggak mau kejutan macam ini."

"Lagipula ini acara adikmu, Ra. Kenapa kamu harus terkejut segala." Mama terkekeh geli. "Oh iya, kamu mau kado apa dari Mama?"

"Nggak usah!"

Naura melangkah ke anak tangga. Mama menggeleng tidak percaya. Anak itu, meski usianya hampir berkepala tiga, namun lebih kekanakan dibandingkan Satria. Beruntung Naura mempunyai suami yang sabar dan pengertian. Mama sempat takut tidak ada yang mau mendekati Naura. Makanya, tiga tahun lalu, Mama menangis haru ketika ada lelaki datang melamar ke rumah.

"Cacha kok nggak diajak ke sini?" seru Mama.

Naura yang sudah sampai di ujung tangga, menoleh. "Cacha les renang sama papanya."

Mama tidak bertanya lagi. Cacha menuruni sifat dari papanya. Beruntungnya anak itu. Tidak terbayang bagaimana jika Cacha menuruni gen medusa dari Naura. Mama bergidik ngeri.

***

"Ini hari Minggu, Mbak. Tolong jangan rusak hari ini."

"Bangun! Gue mau ngomel. Lo harus dengerin!" Disusul dengan pukulan di punggung Satria dua kali.

Di balik selimut Satria mengaduh. Tangan kakaknya itu terkenal seperti besi. Kena towel sedikit saja sudah sakit. Ini dipukul dua kali. Dia jadi menyesal karena kemarin mengadu soal Aldira ke Naura. Niatnya hanya curhat biasa. Tapi dia lupa, yang dicurhati ini adalah medusa merangkap pejuang HAM.

Tidak ada pukulan lagi, tapi terdengar pintu kamar mandi yang terbuka dan keran air yang dinyalakan. Tunggu. Tidak mungkin kakaknya ke sini hanya untuk mencuci muka atau numpang man-

Dalam sekali gerakan, Satria mengempaskan selimut tebalnya. Dia duduk sambil menatap ngeri pintu kamar mandi yang terbuka. Benar dugaannya. Karena sedetik kemudian kakaknya muncul dengan ember di tangan. Siap menyiramnya.

Naura membanting ember, membuat air di dalamnya tumpah, sedikit membanjiri lantai di sana.

Mereka duduk di balkon kamar Satria. Pukul sepuluh lebih ketika dia melirik jam di dinding. Dan sepagi ini kakaknya sudah datang. Pasti tadi di bawah Mama juga kena omel. Apa kakaknya ini tidak takut kualat? Dia sering durhaka ke Mama. Berteriak-teriak.

"Cacha sama Mas Rio nggak ikut?"

"Renang. Katanya kamu mau nikah sama Brenda. Gimana, sih?" Naura tidak bisa dialihkan begitu saja. Apalagi diajak berbasa-basi.

Satria menghela napas. "Aldira beda, Mbak."

"Jelas beda! Dia dari keluarga nggak jelas. Sementara bibit, bebet, dan bobot Brenda jelas!"

"Bukan itu-"

"Brenda nggak kalah cantik!"

"Mbak." Satria mengusap wajahnya. "Aku sekarang udah nggak mikir lagi mau nikah sama siapa. Terserah. Aku udah nyoba jalani hubungan sama Brenda. Tapi dia nggak mau komitmen dalam waktu dekat-"

"Kamu nggak bisa nunggu?" Naura memotong lagi.

"Aku bisa nunggu," tandas Satria. Lantas menurunkan suaranya, "Tapi Mama nggak."

"Biar aku yang bicara sama Mama. Kamu nggak bisa dipaksa-paksa gini nikah sama perempuan antah-berantah." Naura berdiri. Kalau adiknya ini tidak bisa membujuk Mama, biar dia saja. Akan dia pastikan Satria bebas menikah dengan perempuan pilihannya sendiri.

"Mama kena serangan jantung."

Naura terhenti di pintu balkon. Satu tangannya meraih pintu, mencari pegangan. "Jangan bercanda! Mama sehat. Selama ini, Mama nggak pernah kenapa-kenapa. Dia hidup teratur. Dia-" Naura tercekat, "Kapan?"

"Tiga hari yang lalu."

"Kamu nggak hubungi aku?!"

Satria mendongak, menerima tatapan tajam kakaknya. "Sudah. Tapi nomor Mbak nggak aktif. Mas Rio juga."

Sebelum diamuk, Satria melanjutkan, "Begitu Mama sadar, dia ngelarang aku buat cerita ke Mbak. Maaf."

Naura sudah tidak bisa menyangkal lagi tentang mama yang selama ini baik-baik saja. Dia luruh ke lantai. Terduduk. Beberapa titik lolos dari matanya. Satria berdiri lantas berjongkok untuk merengkuh kakaknya.

***

Satria kembali ke kamar membawa secangkir teh hangat untuk Naura. Kakaknya itu menangis satu jam lamanya. Menelan semua suara dan memilih menangis dalam diam-takut Mama akan mendengarnya. Tapi tetap saja Satria kewalahan memeluk kakaknya itu. Naura beruntung, dia dikelilingi orang-orang yang sabar.

Make-up Naura sudah berantakan. Kalau situasinya berbeda, Satria pasti sudah mencibir.

"Mama di mana?" Naura menerima cangkir dari tangan Satria.

"Masih ngerajut di ruang tengah."

Naura terdiam. Ditatapnya cangkir di tangannya. "Aku banyak salah sama Mama, Dek."

Inilah kakaknya yang sesungguhnya. Sebelum Papa meninggal, Naura pribadi yang lemah lembut. Semua berubah sejak Papa meninggal lima tahun lalu. Naura menjadi pemarah, sedikit-sedikit mengomel. Beruntung tidak sampai merusak barang di rumah. Mama yang mengerti, tidak pernah sedikit pun tersinggung dengan perilaku anak sulungnya. Dia mengerti, bagi Naura, Papa adalah segalanya. Kehilangan Papa merupakan pukulan telak untuknya. Kehilangan itu bermanifestasi menjadi sikap yang meledak-ledak.

"Sama, Mbak." Satria duduk di sebelahnya.

"Aldira ... kamu yakin dia bisa membuat Mama bahagia?" tanya Naura meragu.

"Bukankah Mbak yang tahu cerita tentang dia?" balik Satria.

"Ya cuma sekadar, dia ini anak teman lama Mama. Bukan asli Jakarta. Aku lupa tepatnya mana. Yang jelas mama mengadopsi Aldira, memenuhi semua kebutuhan dia. Rumah, makan, sekolah. Semuanya."

"Kenapa nggak tinggal di sini?"

"Papa nggak setuju."

"Kenapa?"

Naura mengangkat bahunya. "Aldira tidak pernah muncul di rumah ini. Aku dulu sampai berpikiran kalau dia ini anak haram Mama."

"Nggak mungkin, Mbak!"

"Iya, iya. Aku tahu. Itu nggak mungkin. Kita sama-sama tahu Mama gimana orangnya." Naura mendesah lelah. "Terus rencana kamu setelah ini gimana?"

"Aku akan menikahi Aldira."

Naura menoleh, menatap sedih adiknya. "Maaf, aku nggak bisa bantu apa-apa. Kalau kamu merasa ini yang terbaik, lakukan saja. Tapi aku nggak bisa janji akan bersikap baik dengan Aldira."

Iya. Satria juga tidak berharap banyak dengan komitmen yang akan dia buat dengan Aldira. Dia tidak lagi memikirkan apa yang akan terjadi di depan. Tapi setidaknya, dia menuruti permintaan Mama. Dengan begini, semoga Mama tidak kesepian lagi.

***

Diketik: 01 Juli 2018
Dipost: 03/07/18

us against the world ✓ [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang