3. Cincin Pernikahan

4.2K 420 20
                                    

"Mau ke mana? Kok rapi? Ini bukan malam Minggu, Sat." Mama menurunkan rajutannya, ganti menatap anak bungsunya di tengah anak tangga. Dia hafal kebiasaan Satria yang suka keluar setiap malam Minggu. Entah pacaran, entah sekadar nongkrong bersama teman, atau apa. Yang jelas anaknya tidak pernah pulang dalam keadaan mabuk dengan baju penuh bau parfum perempuan. Itu yang terpenting.

Satria mendekat, duduk di sebelah mamanya. "Ikut yuk, Ma?"

"Ke mana?"

"Cari cincin."

Sontak senyum terkembang di wajah Mama. "Nggak mau. Nanti malah ganggu quality time kalian. Udah sana, Aldira pasti udah nunggu."

"Kami janjian di mal-nya, Ma. Dia nggak mau dijemput."

Mama manggut-manggut. "Dia anaknya memang begitu." Lalu ditepuknya tangan Satria. "Tapi nanti, kalau dia sudah jadi istrimu, perlakukan dia dengan baik ya, Sat. Mama nggak mau lihat kamu bikin dia nangis. Ya?"

Satria mengangguk. Dia berdiri setelah mencium tangan Mama.

Sepanjang perjalanan, Satria menoleh ke ponsel yang teronggok di atas dasbor. Layarnya masih hitam. Tidak ada getaran yang masuk. Pesan singkat pun tidak. Dia berganti melirik jam di tangan. Dia terlambat satu jam dari waktu yang dijanjikan. Siap menerima omelan dari Aldira. Dia jadi penasaran. Apakah semua perempuan mengomel seperti kakaknya? Pipi menggembung. Mata melotot tajam. Kedua alis naik diikuti serentetan kalimat pedas.

Setelah mencari, Satria akhirnya menemukan Aldira yang duduk di kursi kayu panjang. Bukan malam Minggu, tapi mal tetap ramai. Ada beberapa anak yang main kejar-kejaran. Remaja-remaja saling bercanda memenuhi jalan. Sepasang suami istri bersama bayi yang didorong di stroller. Di antara banyaknya orang, profil Aldira tertangkap matanya. Masih lengkap dengan pakaian kerja. Jika pertemuan kemarin perempuan itu mengenakan rok selutut, kali ini kain hitam panjang membungkus kaki jenjangnya. Dan satu lagi, rambut panjangnya sudah dikucir asal.

"Maaf, nunggu lama ya?"

Aldira yang tadi menunduk menatap ponsel, mengangkat wajahnya. "Iya, udah lama. Dimaafkan."

Satria heran. Perempuan ini bisa menerornya lewat telepon atau pesan, ribut bertanya kenapa belum datang juga. Tapi tidak. Atau paling tidak, ketika Satria sampai di tempat, Aldira akan mengomel panjang tentang dia yang sudah menunggu lama. Duduk satu jam lebih dan menatap lalu-lalang orang, itu membuat pusing. Ditambah lagi Aldira sudah lelah di kantor. Ditambah lelah dengan harus menunggu seperti ini. Bayangkan kalau ini Naura. Pasti Satria sudah habis di tempat.

"Ayo." Aldira memasukkan ponsel ke dalam tas, lantas berdiri. Dia melangkah ke eskalator.

"Kamu nggak marah nunggu lama?" Satria menyusul di belakangnya.

"Aku punya stok sabar lumayan banyak. Nggak usah khawatir."

Sekonyong-konyong terdengar suara rumpi dari belakang Satria. Dia pun menoleh dan seketika menyesal. Saat dia menoleh, ada mata yang berkedip padanya. Rombongan itu bukan sekadar rombongan biasa. Satria spontan loncat ke undakan yang sama dengan Aldira. Lantas cepat-cepat meraih bahu perempuan itu. Mendekapnya dengan satu tangan. Sementara satu tangan lagi dia masukkan ke saku celana. Berlagak tetap cool meski dalam hati ketar-ketir.

Aldira bertanya lewat mata. Ada apa?

"Jangan noleh. Di belakang serem banget."

Karena dilarang, Aldira justru penasaran. Dia menoleh. Dan benar. Satria tidak bohong. Aldira cepat-cepat menatap ke depan lagi.

"Naksir kali sama kamu," katanya santai.

"Ini aku beneran takut, Al."

Selepas dari eskalator, Satria masih menempel ke Aldira. Takut jika sewaktu-waktu mereka mencolek bahunya. Atau lebih parah, hinggap di punggungnya.

"Kamu pernah dikejar banci?"

"Pernah. Dan itu cukup sekali aja. Jangan sampai terulang."

Aldira menoleh. Memastikan jika rombongan tadi, yang terdiri dari tiga-empat orang, sudah berbelok ke arah lain. Sepertinya ke salon.

"Mereka udah nggak kelihatan. Bisa dilepas?"

"Hah? Oh ...." Satria menarik tangannya dari bahu Aldira. "... maaf."

Satria dibuat takjub lagi dengan perempuan ini ketika mereka memilih cincin pernikahan. Di saat kebanyakan perempuan ribet dalam memilih atau lebih tepatnya terlalu pemilih, Aldira sebaliknya. Dia asal tunjuk saja. Tanpa perlu berpikir lama. Satria lupa kalau keputusan menikah juga hasil dari Aldira yang tidak banyak berpikir.

"Yakin pilih ini, Al?"

Aldira mengangguk.

"Nggak yang itu aja?" Satria menunjuk sepasang cincin tebal, yang bisa diberi ukiran nama.

"Aku lebih suka yang sederhana aja."

Satria tidak bertanya lagi. Mereka memutuskan membeli cincin sesuai pilihan Aldira. Sebenarnya sikap Aldira ini justru memudahkan Satria. Dia tidak perlu pusing mengikuti kemauan yang aneh-aneh. Harus begini. Harus begitu.

Tunggu, Aldira normal, 'kan?

Dia terlihat seperti perempuan kebanyakan. Cantik. Tinggi. Kedua pipinya tembam secara wajar. Tidak terlalu tirus. Dan satu yang masih membuatnya takjub. Alis Aldira asli. Tidak ada tanda-tanda disulam atau diukir. Atau semacamnya. Satria menggelengkan kepalanya. Mengusir penilaian singkat yang dia berikan untuk Aldira. Mau alis sulaman atau asli, terserah. Yang penting ada alisnya.

Terlepas dari cantik, sebenarnya wajah Aldira dingin. Tidak ada senyum hangat di sana. Dari caranya menatap hingga tersenyum tipis, terasa dingin. Oh iya, dia lupa, Aldira 'kan Putri dari Kutub Selatan.

"Bisa nggak kita makan di warung tenda aja?"

"Eh?"

"Warung tenda di depan mal."

Padahal Satria sudah duduk di salah satu kursi. Dia siap melambaikan tangan ke pelayan. Tapi mendadak Aldira ingin makan di luar mal saja.

Satria menuruti, dia tersenyum tidak enak pada pelayan yang hendak mendekat membawakan menu.

Mereka menyeberang ke warung tenda. Satria berpindah posisi ke sebelah kanan. Satu tangannya refleks meraih tangan Aldira. Mereka menyeberang dengan langkah lebar. Satu-dua klakson terdengar.

Warung tenda penuh. Beberapa yang tidak kebagian duduk di dalam tenda, terpaksa makan di bangku luar. Tidak masalah. Toh, langit tidak sedang mendung.

Sambil menunggu pesanan, Satria menatap lalu-lalang kendaraan dari tempatnya duduk. Tiba-tiba dia kepikiran sesuatu. "Mau mas kawin apa, Al?"

Aldira melepas pandangan dari bangku di dalam tenda, yang dipenuhi oleh satu keluarga. "Ya?"

"Mau mas kawin apa?"

"Apa saja."

"Kali ini, bilang aja. Jangan terserah lagi."

"Rumah di dekat perkebunan." Dikatakannya dengan muka datarnya itu.

Satria tidak terkejut atau apa. Dia tahu perempuan ini sedang bercanda. Tapi sama sekali tidak lucu. "Nggak sekalian minta dibuatkan candi?"

"Boleh, kalau kamu nggak keberatan."

Bukankah ini percakapan yang lucu? Kenapa baik dirinya, atau pun Aldira, tidak tertawa? Ada yang salah, 'kan? Belum-belum mereka sudah tidak cocok begini.

Bagaimana dengan hari-hari setelah mereka menikah? Satria takut jika dia akan mati bosan dengan perempuan yang tidak bisa diajak bercanda ini. Ah, entahlah. Yang penting dia menikah dengan Aldira. Sesuai dengan permintaan Mama.

***

Diketik: 01 Juli 2018
Dipost: 04/07/18

us against the world ✓ [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang