4. Aldira ini ... Siapa?

4.1K 422 33
                                    


Aldira sudah mengucir rambut panjangnya ketika Satria datang menjemput di kantor. Dia tidak sendiri, di bangku depan, Mama duduk dengan senyum mengembang sejak tadi. Satria ingin bertanya, tapi takut merusak senyum mamanya.

Begitu mobil berhenti di lobi, Mama bergerak turun. Satria mengamati saja dari dalam mobil. Aldira melangkah dan menyambut pelukan Mama. Mereka sepertinya bicara sebentar, Aldira tampak mengangguk. Tangan Mama juga sesekali menepuk lembut lengan perempuan itu. Naura pastilah cemburu kalau melihat pemandangan ini. Meski Mama tidak pernah pilih kasih.

Butik langganan Mama tidak jauh dari kantor Aldira. Hanya sepuluh menit saja. Ketika mamanya sibuk bernostalgia sebentar dengan pemilik butik, Aldira memijat tengkuknya. Beberapa kali dia merenggangkan kedua tangan. Satria menangkap semua itu.

Tunggu, Aldira penggila kerja? Sebentar. Ini terasa tidak benar. Alasan dia mau menikahi Aldira adalah atas permintaan Mama, itu alasan pertama. Kedua, Aldira mau diajak berkomitmen secepatnya. Dan yang ketiga, perempuan itu bukanlah workaholic. Satria butuh istri yang bisa menemani Mama di rumah. Untuk poin ketiga, sepertinya luput dari pemikiran Satria.

“Bicara sebentar.” Satria menarik lengan Aldira, lantas keluar lewat pintu samping butik. Di sana cahaya sedikit temaram.

Aldira berdiri, sedikit bersandar di tembok. Satria berdiri di depannya dengan jarak satu langkah.

“Kamu workaholic?”

“Iya.”

“Dan setelah kita menikah?”

Kening Aldira berkerut. Dia mengerti maksud lelaki di depannya. “Kamu minta aku buat resign?”

“Iya. Bisa, ‘kan?”

“Kenapa?”

Satria tidak harus mengatakan alasan yang sesungguhnya, ‘kan? “Jawab aja. Bisa apa nggak?”

Aldira terdiam. Dia selami sepasang mata yang terlihat resah di depannya. Dia mencoba mencari sesuatu di sana. “Katakan alasannya.”

Tuhan, perempuan ini benar-benar ajaib!

“Aku akan jawab kalau kamu kasih alasan.”

Baiklah. Ini sisi menyebalkan dari seorang Aldira yang baru dia jumpai. Perempuan ini tidak ribet. Tapi dia keras kepala.

Satria mendekatkan wajahnya. Aldira refleks mundur, hingga kepalanya menempel di tembok. Matanya membulat ketika wajah Satria tinggal setengah jengkal dari wajahnya.

“Satria! Belum halal!”

Mama muncul di pintu, berteriak heboh. Satria refleks mundur. Kemudian menatap mamanya dengan bingung. Memangnya dia mau apa? Dia hanya ingin berbisik. Ketika beralih ke wajah Aldira, akhirnya dia mengerti.

“Aku … nggak bermaksud—”

“Masuk. Jangan bikin malu Mama, Satria!”

***

“Kamu gendong.”

“Ya?” Satria menganga tidak percaya. “Aku coba bangunin pelan-pelan aja deh, Ma. Lagian nggak—”

“Satria.”

“Iya, iya. Sendiko dawuh, Ndoro.” (Siap laksanakan perintah, Tuan Putri)

Mama tertawa melihat anaknya turun dari mobil dan membuka pintu belakang. Dia kemudian ikut turun. Memastikan jika Satria tidak membangunkan Aldira yang tertidur nyenyak.

Meninggalkan mobil di halaman apartemen, Satria membawa Aldira dalam gendongannya. Beruntung perempuan ini mengenakan celana panjang. Jadi tangan Satria tidak menyentuh paha mulus—oke, abaikan.

Mama melangkah di sebelahnya. Begitu sampai di lift, dia menekan angka lima belas. “Mama tahu dia tinggal di lantai berapa?”

Pertanyaan bodoh. Tentu saja mamanya tahu. Pertanyaan itu tidak dijawab.

“Calon mantu Mama ini ringan juga.” Satria sembarangan mencomot topik.

“Dia gila kerja kayak kamu. Mau makan banyak kayak apa, juga nggak jadi daging.”

“Mama maunya Aldira nanti tetap kerja atau di rumah?”

Mama menatapnya. “Terserah kamu, Satria. Mama tidak akan ikut campur. Kamu keluar dari rumah pun, boleh.”

Satria menghela napas. Dia tahu mamanya berbohong. “Mama ngusir nih? Jadi ini alasan aku disuruh cepat-cepat nikah?”

“Iya. Mama ngusir kamu dari rumah.” Mama hanya bercanda. Tapi soal membebaskan Satria ingin tinggal di mana, dia tidak bercanda. Satria boleh membeli rumah baru dan semacamnya. Tidak akan dia larang.

Lift berdenting terbuka. Mama melangkah lebih dulu. Dia memasukkan sandi apartemen. Kali ini Satria menahan diri untuk tidak bertanya.

Lampu menyala otomatis ketika pintu terbuka. Dengan hati-hati, Satria melangkah masuk dan menidurkan Aldira di kasur setelah Mama menyibak selimut.

“Mama ingin di sini dulu, Sat.”

Satria mengangguk. Mama menyelimuti Aldira kemudian mengusap kepalanya dengan lembut.

Seraya duduk di salah satu sofa, Satria mengedarkan pandangan ke segala penjuru apartemen. Tidak terlalu mewah. Sederhana namun nyaman.

“Kamu berpikir ini apartemen Mama, ya?” Mama datang membawa secangkir teh celup hangat.

“Bukannya ini apartemen Mama?”

Mama menggeleng.

“Jadi, bukan?”

“Mama memang membiayai semua kebutuhan Aldira, Sat.” Mama duduk di sofa panjang. “Tapi hanya sampai dia lulus SMA. Saat kuliah dia mulai bekerja. Bekerja apa saja. Dia tidak mau merepotkan Mama terlalu banyak. Setelah mempunyai tabungan, dia bahkan keluar dari apartemen Mama. Dia nyewa kos di dekat kampus.”

Satria bisa melihat binar bangga ketika Mama bercerita.

“Ini apartemen yang Aldira beli sendiri, dua tahun yang lalu. Dicicil. Seharusnya sudah selesai tahun ini.”

“Aldira ini … siapa, Ma?” Satria sampai di pertanyaan ini. Akhir-akhir ini dia mulai bertanya-tanya. Dia harus tahu dengan siapa dia akan menikah, sekalipun itu pilihan Mama sendiri.

“Dira anak Mama, Sat.” Mama tersenyum penuh arti.

“Mamaaa,” rajuknya.

“Kalau kamu ingin tahu, kenali Aldira sendiri. Nanti juga tahu siapa dia.” Mama menyesap tehnya. Kalau saja Satria menyadari, air muka mamanya berubah.

Satria menoleh, menatap Aldira yang tampak pulas. Bahkan saking pulasnya, Satria yakin Mama tidak tega mengganti bajunya—takut membangunkan.

Teh di cangkir Satria masih utuh. Dia sejak tadi sibuk menatap Aldira dan jendela silih berganti. Tiba-tiba hatinya bertanya, apakah dia siap menikah dengan perempuan itu?

“Ma?”

“Hm?” Mama meletakkan cangkirnya di meja.

“Apakah aku bisa mempercayai Aldira?”

“Kamu bisa mempercayainya, sebesar kamu percaya dengan Mama, Sat.”

“Tapi dia belum tentu mau resign, Ma.” Satria berkata lirih.

Mama menatap anak bungsunya. Dia tahu, anak ini, menerima perjodohan sepihak karena terlalu menyayangi mamanya. Bahkan mengkhawatirkan mamanya yang mulai kesepian di rumah.

“Satria, Mama tidak menuntutmu untuk mencari istri yang mau duduk menemani Mama merajut. Sama sekali tidak.” Mama berkata lembut. “Mama ingin kamu menemukan seseorang yang bisa kamu ajak melangkah bersama. Seseorang yang bisa kamu ajak berbagi. Saling melengkapi.”

Satria kembali menoleh ke arah Aldira. Bagaimana perempuan itu bisa memiliki sepenuhnya hati Mama?

***


Diketik: 01 Juli 2018
Dipost: 05/07/18

us against the world ✓ [Pindah ke Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang