4. PERGI

777 105 8
                                    

Jangan salahkan Dewa jika sekarang ia bersikap selayaknya anak yang tidak pernah belajar sopan santun. Ia merasa berhak melakukan ini bahkan mungkin lebih dari ini. Hati nuraninya serasa telah mati tepat saat ia melihat wajah perempuan yang selalu menjadi alasan ibunya dulu menangis.

Pagi-pagi sekali Dewa sudah melihat ayahnya bertengger manis di meja makan, sesuatu yang bahkan tidak pernah ayahnya lakukan sejak ia sering bertengkar dengan ibunya dulu. Kali ini ayahnya bahkan bercanda-canda dengan anak perempuan yang kalau Dewa tidak salah namanya Sayla.

Padahal anak itu sebelumnya mempunyai kesan yang baik di mata Dewa tetapi sekarang semua itu pudar berganti dendam yang membara di dalam hati. Mengetahui ia adalah anak dari seorang wanita penggoda membuat darah Dewa serasa mendidih di dalam tubuhnya.

"Abang, ayo sini ikut sarapan". Seru Sayla saat melihat Dewa berjalan menuruni tangga dengan seragam sekolah.

Matanya selalu berbinar menatap orang-orang di sekitarnya. Suatu hal yang membuat Dewa seketika merasa muak.

Dewa putuskan untuk bersikap seolah tidak mendengar ajakan dari mulut mungil milik Sayla. Binar di mata Sayla seketika hilang saat melihat Dewa berlalu begitu saja menuju pintu keluar rumah. Wajah anak perempuan itu langsung berubah sedih tatkala tak mendapat respon apapun dari abang barunya.

Sementara itu, Dewa dengan segenap kekesalan dalam dadanya segera melempar tasnya sembarang begitu sampai di depan bagasi. Bayu yang tak sengaja melihat itu langsung memungut tas tersebut dan memaksa menyampirkannya lagi di bahu Dewa.

"Tas kok di buang-buang? Sayang tahu, ini mahal banget harganya setara dengan uang kuliah gue tiga semester". Celutuk Bayu yang berusaha memasangkan tas tersebut tapi di tolak mentah-mentah oleh Dewa.

"Lepasin Mas, aku mau bolos sekolah aja hari ini". Seru Dewa. Bayu yang mendengar hal tersebut menghela nafas berat. Ia tidak bisa menyalahkan sikap Dewa yang begini karena kalau saja ia yang ada di posisi Dewa saat ini mungkin ia juga tak akan kalah rusuh dan marahnya seperti Dewa. Memangnya siapa yang mau menghadapi bertubi-tubi masalah seperti Dewa?

"Kalau lo mau bolos. Oke gue anterin, mau bolos kemana lo? Ada tujuan nggak?!". Tantang Bayu. Dalam benak Bayu ia tahu persis bahwa Dewa tidak pernah bolos seumur hidupnya, jadi tidak mungkin ia punya tujuan sekarang. "Kalau lo nggak punya tujuan mau bolos kemana, gue akan tetap anter lo ke sekolah". Ungkap Bayu.

Dewa terdiam seribu bahasa. Ia sendiri bingung ingin kemana kalau tidak sekolah. Jika ia di rumah pun ia akan bertemu ayah dan istri baru ayahnya tersebut. Tentu itu bukan sesuatu yang ia inginkan sekarang.

"Pikirkan baik-baik. Jangan sampai pendidikan lo korbankan gara-gara perasaan hati yang hancur dan sedih. Lo anak yang pinter Wa, masa depan lo pasti cerah, masa iya karena begini doang lo korbankan semua itu?". Seru Bayu berusaha menasehati Dewa yang saat ini sedang kalut oleh perasaannya sendiri.

"Masa depan cerah bagaimana Mas? Aku bahkan nggak yakin akan punya masa depan setelah semua ini". Ungkap Dewa dengan suara bergetar menahan tangis.

Usianya masih empat belas tahun, tapi ujian yang ia tanggung amat berat. Dewa tidak mengerti kenapa ia di pilih Tuhan untuk menjalani hidup yang seperti ini.

"Kata siapa lo nggak punya masa depan? Lo bisa pegang nih kata-kata gue hari ini. Kalau lo sekarang masuk mobil, terus datang ke sekolah, dan belajar kaya biasanya, lo pasti bakal bisa jadi apapun yang lo mau bertahun-tahun ke depan. Kita bisa taruhan untuk hal ini!". Ucap Bayu mantap.

Dewa mungkin tidak mempercayai sepenuhnya kata-kata yang Bayu ucapkan. Tapi kata-kata itu sedikit membantu Dewa untuk kembali berdiri dan menguatkan kakinya berjalan lagi hari ini. Tidak ada yang tahu masa depan itu seperti apa dan bagaimana akhirnya, entah masa depan Dewa indah atau tidak, tetapi Dewa tidak akan mungkin bisa mengetahuinya kalau ia tidak menguatkan dirinya hari ini.

TEARS  [kaistal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang