Aku tidak mengerti kenapa kedua orangtuaku bersikeras agar aku masuk ke sekolah ini, Saint Augustine Boarding School. Sekolah asrama campuran yang sudah berdiri tegak sejak zaman penjajahan. Padahal aku sangat tidak menyukai segala hal tentang sekolah ini. Letaknya di kaki gunung, cukup jauh dari perkotaan dan dikelilingi oleh hutan pinus yang lebat. Bangunannya memang besar dan luas, tapi menyeramkan bagiku. Cat putihnya yang memudar karena perubahan cuaca membuat gedung sekolah ini lebih seperti bangunan kosong yang telah lama terbengkalai.
"Ayah, kau yakin ini sekolahnya?"
Ayah mengangguk dengan mantap sambil terus menggandeng tanganku, berbelok dari koridor satu ke koridor lainnya. "Ya. Kau menyukainya?"
"Sama sekali tidak." jawabku cepat. "Kenapa tempat ini seperti rumah kosong yang tak dipakai bertahun-tahun? Jika memang sekolah ini masih berfungsi, seharusnya mereka merenovasinya bukan?"
"Mungkin mereka tidak ingin mengubah apa yang telah ada sejak dulu." kata Ayah santai. "Bagaimanapun juga, bangunan ini bersejarah. Mereka sudah ada sejak zaman penjajahan."
"Setidaknya mereka bisa mengecat dindingnya." keluhku. "Itu takkan mengubah bentuk bangunan."
Ayah mengedikkan bahunya, lalu berjalan masuk ke sebuah ruangan yang pintu kayunya terbuka sangat lebar. Meja-meja berderet rapi. Sepertinya ruang guru, pikirku.
"Halo, Bu Marie." Ayah menyalami seorang wanita tua dengan rambut sebahu yang sudah putih seluruhnya. Wanita itu tersenyum kaku. "Ini putriku, Laura. Tahun ini tahun pertamanya di sini."
"Oh, halo Laura." wanita tua itu menatapku tajam. "Selamat datang di Saint Augustine. Aku Marie, kepala sekolah. Tidak banyak murid yang menyukaiku di sini. Aku tidak berharap kau akan menyukaiku, tapi kau tetap harus menaati peraturanku. Setidaknya itulah yang harus kau ketahui untuk saat ini."
Aku mengernyit bingung. Ayah tertawa kecil, lalu menanyakan beberapa hal dan mereka terlihat mengobrol dengan serius.
Seorang guru datang dan mengajakku bergabung dengan rombongan murid baru yang hendak berkeliling sekolah. Kami memang baru akan memulai pembelajaran minggu depan, tapi kami diminta hadir hari ini untuk acara perkenalan sekolah. Tidak banyak murid yang diterima di sekolah ini. Kuhitung, hanya ada 25 murid laki-laki, dan 25 murid perempuan termasuk aku.
"Kau dipaksa orangtuamu untuk masuk ke sini juga?" seorang laki-laki tinggi dan kurus menghampiri dan menepuk bahuku pelan. "Aku Brian, kalau kau mau tahu."
"Aku Laura, dan yeah aku memang dipaksa masuk ke sekolah ini. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Karena semua yang ada di sini tidak datang dengan keinginan mereka sendiri." timpal seorang gadis pucat berambut ikal kecoklatan. "Salam kenal, Laura. Aku Susan."
"Betul juga." aku mengangguk. "Memangnya siapa yang mau bersekolah di tempat kuno dan terpencil seperti ini?"
"Anak-anak, mohon perhatiannya!" seorang guru laki-laki bertubuh tambun berdiri di hadapan kami semua dan menepuk-nepukkan tangannya. "Kita akan mulai berkeliling sekolah. Harap tidak ada yang keluar dari barisan dan menjelajahi sekolah ini sendirian."
"Namaku Joe." kata guru laki-laki itu lagi. "Dan aku adalah pengajar matematika untuk siswa ajaran baru."
"Astaga, tidak adakah guru yang lebih tua lagi?" desis Susan. "Kupikir guru-guru di sini seharusnya sudah pensiun."
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan Susan yang memang ada benarnya itu. Lalu kami mulai berjalan mengikuti rombongan menuju gedung asrama. Dua gedung asrama yang saling berhadapan itu tak kalah menakutkannya dari gedung sekolah. Gedung asrama laki-laki kurang mendapat cahaya matahari. Lampu yang harusnya menerangi tangga justru berkedap-kedip tanpa henti. Menurut Pak Joe, lampu itu sudah diganti dan kabelnya sudah diperbaiki, tapi tetap saja kondisinya seperti itu. Sementara di gedung asrama perempuan, ada sebuah lift berkarat yang sudah tak berfungsi. Melihatnya saja sudah membuatku merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone : Kutukan Kematian di Saint Augustine
HorrorSaint Augustine Boarding School, sebuah sekolah asrama campuran yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan itu kini jadi tempatku bersekolah. Awalnya, aku benar-benar tidak ingin tinggal di sana. Sekolah itu terpencil dan kuno. Namun, setelah mengunj...