"Susan! Susan!"
Susan yang baru saja melangkah keluar dari ruang kesenian nampak heran melihat kedatanganku. "Oh, Laura. Kau menjemputku kemari? Baik sekali."
"A-aku...." aku meremas tanganku yang berkeringat sambil mengatur napas yang kacau usai berlari dari gedung barat ke gedung selatan. Beberapa murid yang lain ikut menatapku keheranan.
"Aku mendengar suara aneh di toilet kamar kita." kataku kemudian. "Seperti desisan. Mungkin ular? Entahlah."
"Lalu kau berlari ke sini? Ya ampun!" Susan menepuk dahinya. "Bagaimana jika ularnya keluar dari toilet dan bersembunyi di dalam lemari atau bahkan di balik bantal kita? Apa kau menutup pintu toiletnya sebelum pergi?"
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha mengingat. "Uh, tidak."
"Ya ampun..." lagi-lagi Susan menepuk dahinya.
"Aku-aku terlalu takut untuk mengeceknya sendiri. Bagaimana jika ia langsung menggigitku?" aku beralasan.
Seorang wanita paruh baya keluar dari ruang kesenian dengan dahi berkerut. "Hei, hei, ada apa ini? Kenapa berisik sekali?"
"Maaf, Bu." Susan menundukkan kepalanya. "Teman sekamarku mengatakan kalau dia mendengar suara aneh seperti desisan ular dari toilet kamar kami, jadi dia berlari ketakutan kemari."
"Benarkah?" kerutan di dahi wanita itu bertambah. "Kalau begitu aku akan ikut ke kamar kalian. Aku juga akan memanggil Pak Jaka."
Kami bergegas kembali menuju asrama putri setelah wanita yang ternyata merupakan guru dan pembina ekstrakurikuler tari, Bu Anne, memanggil salah satu cleaning service yang tinggal di kawasan sekolah. Aku mengekor di belakang Bu Anne bersama Susan yang merangkulku.
"Kau gemetaran." komentar Susan. "Apa kau sangat takut terhadap ular? Well, aku juga sih."
"Umm, iya." jawabku cepat. Pada awalnya aku ingin menceritakan bahwa aku baru saja mengekori Sara menuju sebuah ruangan tersembunyi yang menyeramkan di gedung barat, tapi aku khawatir Bu Anne mendengar pembicaraan kami dan memarahiku karena bisa saja itu merupakan ruangan terlarang bagi murid.
"Pintunya sengaja terbuka?" Pak Jaka, cleaning service yang kami repotkan malam itu, menatapku dengan pandangan menuduh.
Bu Anne dan Susan juga menatapku dengan tatapan serupa.
Aku mengernyit bingung. "Walaupun aku sangat panik, aku yakin aku mengunci pintunya sebelum pergi."
Pak Jaka menggeleng, kemudian masuk ke dalam kamar. "Kau pasti lupa. Lain kali, jangan tinggalkan kamar tanpa menguncinya."
Bu Anne ikut masuk ke kamar asramaku sambil mengangguk. "Berbahaya sekali meninggalkan kamar tanpa menguncinya dengan benar."
Aku menahan lengan Susan yang hendak mengekori Pak Jaka dan Bu Anne. "Aku bersumpah, sebelum pergi aku mengunci kamarnya. Ini aneh."
Susan hanya menghela napas sambil mengangkat bahunya.
Pak Jaka memeriksa seisi toilet dengan teliti, kemudian melanjutkan dengan tempat-tempat tersembunyi di dalam kamar seperti lemari, bawah ranjang, bahkan menyapu sudut-sudut kamar. Bu Anne ikut memeriksa ranjang dan bantal kami.
"Tidak ada apa-apa di sini. Aku sudah mengeceknya." Pak Jaka berdeham.
"Kau yakin kau mendengar desisan dari dalam toilet?" lagi-lagi Bu Anne menatapku dengan pandangan menuduh.
Aku menganggukkan kepala dengan kaku. "Aku sangat yakin. Seyakin aku mengunci pintu sebelum pergi."
Pak Jaka mengangkat kedua tangannya tanda tak tahu. "Aku permisi." katanya, sambil berlalu pergi dari kamar kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone : Kutukan Kematian di Saint Augustine
HorrorSaint Augustine Boarding School, sebuah sekolah asrama campuran yang sudah berdiri sejak zaman penjajahan itu kini jadi tempatku bersekolah. Awalnya, aku benar-benar tidak ingin tinggal di sana. Sekolah itu terpencil dan kuno. Namun, setelah mengunj...