Jati pingsan. Serius, tubuhnya berat sekali. Ditambah efek panik, rasanya sungguh lengkap luar biasa. Aku akhirnya bersusah payah membawa tubuh Jati masuk ke dalam kamarku. Sudah hampir tengah malam, di luar juga udaranya cukup dingin. Aku menggenggam ponselku erat, hendak menghubungi Banyu. Belum sempat menekan nomornya, ponsel Jati bergetar. Aku mencari-cari keberadaannya sampai getaran di ponselnya berhenti. Dari Bang Taro.
Tak lama dari itu, gantian ponselku yang bergetar. Banyu!
"Bay, Jati pingsan di kosanku." Ujarku panik, bahkan tanpa terasa aku sudah menangis. Banyu memintaku untuk tenang. Ia berkata akan kembali ke kosanku tak lama.
Banyu tiba tidak lebih dari dua puluh menit, bersama Bang Taro juga. Keduanya masuk ke dalam kamarku untuk mengecek keadaan Jati.
"Parah, ini bocah abis nyungsep dimana sih? Gila. Motornya ancur." Dumel Bang Taro saat berusaha membangunkan Jati.
"Yu, ada minyak angin? Atau apa kek gitu. Buat ngebangunin si Arga nih." Aku buru-buru menyodorkan minyak kayu putih. Bang Taro mengoleskannya ke beberapa bagian tubuh Jati. Tak lama kemudian, Jati mulai menunjukkan tanda-tanda siuman.
"Kok ada lo di sini, Bang?" Bang Taro berdecak, "ada juga lo. Ngapain lo di kosan Ayu malem-malem begini. Lakinya juga bukan lo."
Aku dan Jati meringis, "kejauhan kalo balik."
"Alesan aja lo, kunyuk." Dumel Bang Taro. Jati nggak membalasnya. "Udah, lo balik sama si Banyu. Biar motor lo gua yang bawa ke kosan. Gak usah banyak protes. Nurut ama gua." Jati susah payah bangkit dari kasur. Sementara Bang Taro sudah berada di luar kamarku.
"Yang," bisikku. Banyu kelihatan sangat diam kali ini. "Aku anter Jati dulu. Nanti kita ngobrol lagi." Sahutnya. Mendadak rasanya agak aneh saat Banyu bersikap dingin seperti itu. Aku tak bisa mengucapkan hal lain selain mengiyakannya.
*****
Sampai hari ketiga pasca Jati pingsan, baik Jati maupun Banyu seolah menghilang dari kehidupanku. Maksudnya, Jati sepertinya pulang ke rumahnya untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, sementara Banyu entah kemana. Jujur saja, aku merasa kehilangan. Banyu mulai sulit dihubungi belakangan ini.
Aku memutuskan untuk berkunjung ke kelas Banyu. Hasilnya nihil. Banyu juga tidak masuk kuliah. Menurut Fajar, Banyu dan Jati sama-sama membolos tiga hari ini.
"Banyu atau Arga nggak bilang sesuatu ke kamu, Jar?"
"Si Arga katanya mau balik. Kalau Banyu gue nggak tau di mana. Kita kan nggak satu kosan. Lagian paling nginep di basecamp."
Aku mendadak ingat, satu-satunya tempat selama tiga hari ini yang belum ku kunjungi hanya basecamp mapala.
"Oh, oke. Makasih ya Fajar." Balasku bersemangat. Fajar mengacungkan jempolnya sebagai balasan.
*****
Rupanya apa yang dikatakan Fajar ada benarnya. Menurut Udin, Banyu sempat menginap di basecamp sebelum izin pulang ke kosan hari berikutnya. Harapanku mendadak luntur. Banyu tidak ada di kosannya. Pun dengan ponselnya yang mendadak jadi berada di luar jangkauan. Aku memutuskan untuk kembali ke kosan dan membiarkan Banyu mengambil waktu dan jarak secukupnya.
Belakangan Banyu memang jadi lebih sering marah jika aku kebetulan bersama dengan Jati. Banyu selalu merasa--er, mungkin--tersaingi dengan sosok Jati. Padahal Jati melakukan tindakan yang menurutku biasa saja untuk ukuran teman lelaki. Maksudku, wajar kan kalau antar teman saling mengajak untuk mencari makanan enak atau tempat wisata yang seru?
Aku selalu berpikir bahwa Banyu kini jadi lebih sedikit over protektif. Entahlah, kadang Banyu menempatkanku pada posisi yang sulit ku ungkapkan.
*****
Sabtu-Minggu Banyu-Ning-Jati libur yah sayang 👄😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Navy
General FictionNavy. Tidak hitam, tidak pula biru. Ia menyaru, mengikuti gelap, tapi tak kelam. Banyak orang bertanya, kenapa memilih warna yang tak konsisten? Tapi buatku, ini merupakan pilihan. Tidak gelap, tidak pula terang. Argajati Laksana, Rahayuning Bhuana...