Banyu tampak baik-baik saja. Ya. Setidaknya itu yang telah aku lihat kini. Banyu tak mempermasalahkan rambutku, penampilanku dan juga Jati yang beredar di dekatku.
Kini aku paham mungkin Banyu benar-benar sudah diambang batas dan ia akhirnya tidak mengalami penyesalan apapun atas kandasnya hubungan kami. Tidak ada keterkejutan, atau kekecewaan. Semuanya normal-normal saja seperti biasanya. Sejujurnya buatku itu cukup menyakitkan.
"Ning, udah." Jati menginterupsi lamunanku. Ia meraih jemariku dan meremasnya pelan.
"Hah?"
"Banyu udah moving on, Ning." Jelasnya. Aku tersedak ludahku sendiri. "Bisanya bilang begitu?" Tanyaku heran. Jati mengedikkan bahunya.
"Dia sudah nggak peduli sama penampilanmu. Gimanapun. Sekarang." Aku tergelak. Tawa yang kupaksa untuk keluar. Sampai-sampai air mataku menitik.
"Bisa aja dia pura-pura." Aku mencoba denial. Meski hasilnya, Jati malah menatapku dengan sorot iba.
"Makan dulu, Ning. Kamu kurusan." Jati mencoba mengalihkan pembicaraan. Meski aku benar-benar tidak peduli dengan tubuhku kini.
"Ti, udahlah." Aku mengela napas sejenak, "kita ada di situasi yang salah." Lanjutku. Jati tergelak, "apaan sih?"
"Kita nggak seharusnya begini." Jelasku. Tapi Jati justru tersenyum dan menyodorkan mangkuk berisi soto untukku.
"Makan dulu, kamu pasti laper."
"Jati, aku mohon. Sekali ini aja. Dengar aku baik-baik."
"Aku dengerin kamu dari tadi. Cuma omongan kamu nggak ada yang bener."
"Jati, mulai sekarang. Aku minta jarak. Sebentar aja. Aku harus benar-benar berpikir."
"Ini nggak lucu, Ning." Aku mendengus, "aku memang nggak melucu." Ujarku kesal.
"Aku butuh waktu. Dari kamu. Banyu sudah melakukannya. Sekarang giliran kamu, Ti."
"Kamu mau pergi?"
Aku mengangguk, "just like you in a few weeks ago."
Jati lantas terdiam. Aku tahu, ini bukan saatnya untuk mengungkit kepergian Jati. Tapi sungguh, aku benar-benar butuh waktu. Aku sudah mulai menyusun skripsiku semester ini. Kupikir akan sangat memusingkan jika kami sedang dalam keadaan tidak baik.
"Kenapa nggak diselesaikan aja, Ning?"
"Kamu yang mulai pergi, Ti. Sekarang giliranku."
"Kamu balas dendam?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Terus kenapa pergi?"
"Aku udah jelasin tadi, Ti."
"Itu alasan. Bukan penjelasan." Balasnya marah. Hari ini aku cukup banyak mengela napasku.
"Jati, I beg you. Kali ini aja." Aku berujar pelan. Jati berdecih, "terserah kamu, Ning."
Jati tak lagi menatapku, ia bergegas meraih tasnya dan pergi. Aku menunduk sebentar, sebelum mendongak dan mendapati ada beberapa orang yang masih memperhatikan drama kami.
Dengan sisa kepercayaan diriku, aku bangkit dari kursiku dan meninggalkan soto yang dipesankan Jati untukku.
Well, patah hati kedua.
*****
Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba berpikir untuk menelepon Mamanya Banyu. Begitu beliau mengangkat teleponku, kami terlibat obrolan panjang seperti biasa. Kupikir, Tante Risma tidak tahu dengan berantakannya hubungan kami sehingga ia masih bersikap baik padaku.
"..."
"Ya? Sejak kapan, Tan?"
"..."
"Iya, aku belum dapat kabar dari Banyu. Soalnya lagi sibuk ngurus bahan buat skripsi"
"..."
"Oke, terimakasih, Tante. Tante juga disana jaga kesehatan ya. Salam buat keluarga yang disana."
Begitu telepon ditutup, aku mengempaskan tubuhku ke kasur. Ternyata Banyu sudah mengambil langkah untuk pergi. Pantas saja dia terlihat buru-buru tadi.
Patah hati ketiga sudah dimulai.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Navy
General FictionNavy. Tidak hitam, tidak pula biru. Ia menyaru, mengikuti gelap, tapi tak kelam. Banyak orang bertanya, kenapa memilih warna yang tak konsisten? Tapi buatku, ini merupakan pilihan. Tidak gelap, tidak pula terang. Argajati Laksana, Rahayuning Bhuana...